Sosok itu melaju bersama skateboardnya dengan begitu lihai, seolah-olah lubang pada trotoar tak sedikitpun menjadi masalah. Sorot mata tajamnya mengarah ke depan, tepat pada sebuah bangunan yang berdiri kokoh di ujung jalan.
Ia berhenti, tersenyum sembari merapihkan jambul yang terasa sedikit berantakan. Rambut hitam legamnya terpapar sinar mentari meski papan bertuliskan SMA CAKRA PUTRA terpajang tepat di atas tempat ia berdiri.
Ia meraih skateboard yang ia injak, lalu berjalan menuju ke satu arah. Pos Satpam sekolah. Ia tersenyum kala netranya menangkap sosok pria setengah baya keluar dari pos. Ia meletakkan benda yang ditentengnya di dekat pintu, lalu duduk di emperan bangunan kecil bercat putih itu.
"Ah, pagi Pak Tomo!"
"Pagi juga Nak Ryan." balas pria itu, ia mendudukan diri di dekat Ryan. "Tumben berangkat siang, nak?"
"Iya nih pak, Ratu lupa memerintahkan Putra Mahkota buat bangunin Pangeran. Jadi, berangkatnya siang." Ryan menjawab antusias, bibirnya senantiasa melukis senyum.
Pak Tomo terkekeh pelan, ia menepuk kaki berlapis seragam abu itu. Menatap wajahnya dengan senyuman, "kamu bisa aja. Ada salam."
Ryan mengangkat sebelah alisnya, "dari siapa?"
"Sari, anaknya bapak. Katanya tadi mau kirim cokelat, eh malah dimakan sama Si Bungsu. Bocah jaman sekarang," Pak Tomo menggeleng perihatin.
Ryan tertawa, "itu artinya Bungsu gak rela jatah jajan kakaknya dikasihin orang. Mending dia yang makan daripada orang asing."
Pak Tomo mendesah, "susah punya anak perempuan. Banyak maunya."
"Beruntung Ryan terlahir jadi Pangeran ya, pak? Gak banyak maunya. Jangankan mau, barang yang gak Ryan pengin juga bergilir dateng."
Pak Tomo tertawa, "iya-iya. Udah sana masuk kelas, jangan sampai ada berita tentang Nak Ryan yang bolos masuk ke telinga bapak."
"Enggak akan. Eh, tunggu," Ryan merogoh isi tas, mengambil kotak bekal dari sana lalu diserahkan pada Pak Tomo.
"Pamali kalau lupa." Ryan menyengir sembari membenarkan letak tasnya.
Pak Tomo menerimanya, lalu bangkit bersama Ryan. "Makasih, ya. Sebenernya gak perlu, lagipula bukan kewajiban pasti. Merepotkan Nak Ryan jadinya."
"Gak apa-apa kali pak. Jangan dibuka sebelum Ryan pergi, takut cokelat di dalemnya ngikut. Kan Ryan manis, ntar gak jadi suprise."
Pak Tomo terkekeh, "Nak Ryan barusan kasih tahu bapak apa isinya."
Ryan menepuk dahinya pelan, "aish, keblabasan! Udah ah pak, assalamuallaikum."
Pak Tomo tertawa, "walaikumsallam."
Tak sampai lima detik, Ryan kembali lagi. Pak Tomo yang baru berbalik terpaksa menghadap Ryan, ia mengernyit heran. "Apa lagi?"
"Titip skateboard," Ryan menyengir lalu kembali pergi.
Pak Tomo menggelengkan kepalanya sembari menghela napas, ditatapnya kotak bekal berwarna cokelat di genggamannya. "Baik, ganteng, tapi kelakuannya aneh. Huh, anak jaman sekarang."
•°•°•°•°•
Ryan bersenandung tiap kali melangkah, tak peduli tatapan siswa lain padanya. Ia orang yang tak pandai mengartikan tatapan, oleh karena itu ia acuh. Entah orang akan menganggap ia apa, ia tetap tak peduli.
Ia berhenti, dan tetap bersenandung. Ia menoleh ke atas, tepat pada papan berukuran kecil yang menggantung disana. Papan itu bertuliskan, 11 MIA 1.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cokelat love story (END)
Teen FictionRyan abimana putra, sosok pemuda dengan sifat ceria, baik, serta penyayangnya mampu menaklukan hati setiap wanita yang melihatnya. Dirinya bagaikan cokelat, begitu memanjakan setiap lidah yang merasakannya. Tak hanya dirinya, kehidupannya juga sama...