Setelah kejadian disekolah kemarin, tak ada lagi tegur sapa yang berlaku. Semua hanyut dalam guratan kepedihan, berteman dengan segala rasa sakit dihati.
Begitu pula dengannya, hanya bisa merenung dibalkon kamar. Tanpa bisa menggenggam tangan yang kemarin sempat menyentuhnya.
Usapan lembut pernah ia rasakan, menyalurkan rasa hangat yang menenangkan jiwa. Namun, kini semua itu telah sirna.
Termakan oleh dendam dan kebencian. Penyalur antara raga yang terpisah dengan jiwanya. Membangkitkan sang api yang telah lama padam.
"Yan!"
Ia tersentak, yang dilihatnya kini adalah dua orang pemuda yang sejak kemarin selalu menemuinya.
"Ngelamun aja lo."
Ryan tak menjawab, pandangannya tertuju pada birunya langit diatas sana.
"Ren...." lirihnya.
Keduanya menoleh kearahnya, yang mereka lihat kini hanya sesosok raga yang kehilangan jiwanya. Begitu rapuh.
"Why?"
"Kenapa rasanya sakit?"
Keduanya terdiam, mereka tau terjatuh kesekian kali memang sakit. Bahkan lebih dari itu, terlebih masalah ini menyangkut ikatan yang terjalin antara mereka dulu.
"Kalo emang harus berpisah, kenapa gak dipisahin aja?"
Keduanya lagi-lagi terdiam. Tak ada kata lelucon yang mereka katakan kini, hanya kata penyemangat yang mereka lontarkan.
"Gue cape, walaupun gue laki tapi gue juga punya hati. Ngejar sesuatu yang belum tentu dapet kepastian, sakit. Tapi, lihat! Dia seolah gak peduli!"
Ryan menunduk, tangannya mengepal. Ia lelah, tapi mereka semua tak mengerti. Ranting yang dipaksa menahan beban berat pasti akan terjatuh. Begitupun dengan dirinya.
Rendi merangkul bahu sahabatnya, "yan, meskipun dia menjauh gak berarti lo juga harus menjauh kaya dia. Lo harus tetep berjuang."
"Gue cape ren! Kalo emang gue harus mati, sekarang aja!"
Ryan berdiri dan menghempaskan tangan rendi begitu saja. Itu membuat kedua temannya terperanjat kaget.
"Lo kenapa sih?"
Ryan menatap mereka tajam, "kalian semua selalu bilang gue harus berjuang. And see! Meskipun gue udah berjuang, gak ada hasil yang gue dapetin!"
Aldi ikut berdiri, "yan, lo sabar! Semua juga butuh waktu!"
Ryan tersenyum miring, "waktu? Cih! Cuma dua minggu apa gunanya?"
Keduanya membelalakan mata tak percaya, oh apakah ryan mengetahuinya?
Sebenarnya, kemarin bunda eva dan ayah vito serta mela telah menjelaskan semuanya. Awalnya mereka tak percaya, namun ketika melihat mela menangis hati mereka luluh.
Darah? Itu semua karena penyakit yang diderita ryan semakin parah. Ditambah adanya kerusakan pada ginjal dan lambungnya.
Kini, mereka hanya mempunyai waktu 2 minggu. Sedangkan masalah yang mereka hadapi tak ada perkembangan yang berarti.
Terlalu sulit, bagaikan sebuah lorong tanpa ujung. Dan kini, ryan terlihat putus apa. Mereka harus apa?
"Lo berdua kaget?" ia tertawa sinis, "gue terlalu bodoh, sampe gak nyadar kalo lo semua ngibulin gue!"
Keduanya semakin membelalakan mata tak percaya ketika melihat ryan mengeluarkan sesuatu dari saku kemejanya.
Itu amplop kemarin!
KAMU SEDANG MEMBACA
Cokelat love story (END)
JugendliteraturRyan abimana putra, sosok pemuda dengan sifat ceria, baik, serta penyayangnya mampu menaklukan hati setiap wanita yang melihatnya. Dirinya bagaikan cokelat, begitu memanjakan setiap lidah yang merasakannya. Tak hanya dirinya, kehidupannya juga sama...