Bab 9

4.2K 260 29
                                    

"Tak selamanya langit hujan itu gelap, dan tak selamanya pula padang rumput berwarna hijau."

🌸🌸🌸

Aqila Pov

Dua tahun berlalu begitu cepat, dan selama itu pula aku menahan rinduku di kota perantauan. Yah, setelah wisuda aku memutuskan mengambil beasiswa ke luar negeri. Bukan, bukan aku lari dari masalah. Meskipun pada kenyataannya mengikhlaskan itu mudah diucapkan dan sulit dilakukan. Tapi aku sudah berkomitmen untuk melupakan dan mengikhlaskannya. Karena memang dia bukanlah yang Allah tulis di Lauhul mahfudz untuk menjadi imamku, dan karena memang dia bukan yang halal untuk aku fikirkan.


"Maaf, permisi mbak. Bisakah anda bergeser sedikit dari pintu itu, agar tidak menghalangi lalu lalang orang yang lewat." kata seseorang menyadarkan dari lamunanku.

"Ehh...? Iya mas... maaf, maaf... Permisi." kataku menjauh dari pintu keluar bandara.

"Duh, bang Fawwaz mana yaa... Harusnya kan sudah sampai sejak setengah jam tadi." gerutuku.

Kuhembuskan nafasku kasar. Karena memang menunggu itu berat, kamu nggak akan kuat biar aku saja. Wkwkwk Uppsss... 😁😄

Kulangkahkan kakiku menyusuri tempat umum ini, mengusir rasa bosanku. Tiba-tiba ada sepasang tangan yang menyikap mataku. Sontak itu membuatku memekik kaget.

"Aaakkhhh....!! Tolo__ hmm...!!"

"Syuuttthhh... Jangan teriak-teriak...!! Ini abang dek..." kata bang Fawwaz sambil membekap mulutku.

"Hmmm... Hmmmm hmmm... Hmm"

"Nah kalo diem gini kan nggak bikin pencemaran udara." katanya sambil tertawa. Kuinjak kakinya sehingga bekapan tangannya terlepas.

"Abaaangggg...!!" teriakku kemudian mengatur nafasku yang tidak beraturan. "Hosh... Hosh... Akhirnya bisa bernafas juga. Abang...!! Abang mau bunuh adek ya...!! Huft, bisa mati lemes tau nggak, kalo abang nggak lepasin tangan abang... Mana bau terasi lagi tuh tangan."

"Udah ngomelnya tante...!!"

"Abang...!!"

"Udah nggak usah digalak-galakin tuh muka... Lebay banget, emang ada orang mati langsung kaku. Lagian kamu juga sih dek kuliah kayak orang kabur dari rumah aja nggak pernah pulang."

"Hehehe... Ya kan biar kerasa banget kangennya dan biar cepat selesai."

"Alasanmu dek, dan lagian ngapain juga sih musti buru-buru banget. Kaya nggak ada waktu aja, atau jangan-jangan...."

"Apaa...?" kataku sinis.

"Jangan-jangan kamu udah punya calon ya buat dibawa ke ayah. Makanya buru-buru gitu." tebaknya ngawur.

"Enak aja. Calon, calon...!! Lagian adek masih happy-happy ini sama status jofisa."

"Dih, jomblo bangga...!! Bilang aja gagal move on. Makanya status nggak berubah." katanya sarkastis.

"Abang...??" kataku merajuk.

"Iya... Iya. Udah ah, jadi pulang nggak nih. Atau kamu mau tidur di sini aja."

"Nggak...!! Kita pulang aja. Aku udah kangen sama ayah, bunda, mbak Fisya dan juga keponakanku tercinta Azzam." kataku bersemangat.

"Sama abangmu yang ganteng ini nggak kangen dek...?" kata bang Fawwaz merajuk.

"Nggak...!!" kataku tegas.

"Tega kamu dek, ngerasa nyesel banget aku dek jemput kamu kesini. Mana jauh lagi." katanya memelas.

Tawaku pecah mendengar ucapannya yang terkesan seperti anak kecil itu. "Hehehe... Uluh... Uluh... Abang gantengku ngambek." kataku sambil memeluknya dari samping.

"Ngapain kamu dek..."

"Adek kangen... Kangen banget, pake sekali... Sama abang gantengku ini... Adek... Adek..." entah kata apa lagi yang akan aku ucapkan. Kenapa aku jadi bingung gini ya. Aku semakin mengeratkan pelukanku pada bang Fawwaz. Menggambarkan betapa besar rasa rinduku pada keluargaku. Tak terasa setetes air mataku jatuh.

"Eh? Dek...?? Qil...?? Kog jadi mellow gini sih." katanya sambil merenggangkan pelukanku.

"Abang... Adek..." aku bingung harus bicara apa lagi. Hanya air mata yang dengan lancangnya mengalir di pipiku.

"Qil, kamu nangis...??" kata bang Fawwaz memelukku kembali. "Iya dek, iya sayang abang juga kangen kog sama kamu... Abang kangen banget sama adek kesayangan abang... Udah ya nangisnya... Air matamu terlalu berharga sayang..." katanya sambil menghapus air mataku. Aku hanya bisa menganggukkan kepalaku sebagai jawaban.

"Yaudah kalo gitu kita pulang sekarang ya dek... Ntar keburu macet." aku hanya mengangguk setuju dan mengekorinya dari belakang.

***

Suasana dalam mobil kali ini begitu canggung. Baik aku maupun bang Fawwaz tidak ada yang membuka suara. Kualihkan pandanganku ke luar jendela untuk mengusir rasa bosanku. Tiba-tiba bang Fawwaz menginjak pedal remnya saat aku tengah menikmati pemandangan indah pada taman tengah kota saat sore hari yang kami lewati.

"Kenapa berhenti Bang...?"

"Ada kecelakaan di depan dek." kata bang Fawwaz kemudian keluar dari mobil.

Kutolehkan kepalaku ke depan, dan benar saja kudapati kerumunan orang di depan. Kulangkahkan kakiku keluar menyusul abangku untuk melihat korban kecelakaan.

Aku terkejut bukan main saat melihat siapa yang menjadi korban dari tabrak lari itu. Kecelakaan itu menimpa seorang ibu dan anaknya, yang di duga ibu tersebut ingin menyelamatkan anaknya. Tetapi takdir tidak berpihak pada mereka. Kuedarkan pandanganku ke kiri dan kanan. Dimana dia, kenapa dia tidak ada saat anak dan istrinya membutuhkannya, batinku.

"hmm... Maaf bapak-bapak. Tolong angkat mereka ke mobil kami. Biar kami yang bawa mereka ke rumah sakit." kataku dengan suara bergetar.

"Dek, kamu nggak papa kan...?"

"Aku nggak papa bang. Aku nggak tega liat mereka. Ayo bang cepat kita bawa mereka ke rumah sakit." kataku menarik tangan bang Fawwaz menuju mobil. Ya Allah tolong beri kekuatan pada mereka, tolong selamatkanlah mereka, do'aku dalam hati.

***

Terima kasih udah sempatkan waktu mampir ke cerita amatir saya, dan yang udah ngevote juga... 😊

Hayoo... Ada yang tau nggak siapa ibu dan anak yang kecelakaan itu... Tunggu next partnya ya...😁😊

Jangan lupa vommentnya ya ukh... Terimakasih...😊

Jangan lupa Al Qur'annya
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
😊

Antara Hati dan Iman ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang