Bab 10

4.2K 238 13
                                    

"Tak selamanya bintang itu terlihat jelas, tapi yakinlah bahwa setelah senja akan ada bintang yang selalu bersinar."

🌸🌸🌸

Rasa sedih, khawatir, cemas, bingung dan sakit menyerangku. Aku tak bisa tenang merasakan gejolak di hatiku.

"Dek, kamu tenang yaa... Dokter masih berusaha menangani mereka." kata bang Fawwaz menenangkanku.

"Tapi bang, luka yang mereka alami cukup parah. Kenapa Allah memberikan musibah sebesar itu... Kenapa..."

"Istighfar dek, kamu nggak boleh menyalahkan Allah. Allah menguji hambanya karena Allah sayang pada hambanya. Kita do'akan saja ya dek. Semoga mereka tidak apa-apa."

"Aamiinn... Semoga saja bang." aku beristighfar untuk menenangkan hatiku. Namun, detik kemudian aku mendengar derap langkah mendekat ke arah kami.

"Assalamu'alaikum, permisi mas, mbak... Sebelumnya saya minta maaf karena.... I_ila...??" dia terkejut saat aku mendongakkan kepala.

"Wa'alaikum salam, iya kak, nggak papa. Sudah menjadi kewajiban kita sebagai sesama muslim untuk saling menolong."

"Ta_tapi... Kenapa kamu bisa ada di sini...?"

"Gue rasa pertanyaan itu pantes buat lo." kata bang Fawwaz yang langsung mencengkeram kerah kemeja kak Faris.

"Abang... Stooppp...!!"

"Mau apa lo kesini...!! Masih belum puas lo nyakitin adek gue, hah...?? Belum puas...!!" kata bang Fawwaz yang kemudian memukulnya berkali-kali.

"Abang...!! Qila mohon hentikan...!! Abang...!!" kataku berusaha menghentikan bang Fawwaz.

"Kenapa sih dek kamu masih membela dia. Dia nggak pantes kamu bela dek... Biar dia tau bagaimana rasanya disakiti, dan itu tadi belum seberapa dek." terlihat jelas kilat kemarahan dan kekecewaan di mata bang Fawwaz.

"Bang... Adek tau abang marah, abang kecewa... Tapi, bukan begini cara menyelesaikan masalah. Bang...!! Abang tau, bukan cuma abang yang sakit disini... Dia juga tersakiti bang... Bahkan lebih sakit dari yang adek rasakan dulu...!!" kataku menahan emosi.

"Apa maksud kamu...?"

"Bang... Apakah abang tau siapa ibu dan anak yang tadi kita tolong...?? Dia adalah mbak Dzikra bang. Dia adalah orang yang menyemangatiku saat terpuruk dulu, dia yang menyadarkan adek akan besarnya cinta Allah, dan dia juga yang mengajarkan pada adek akan sakitnya mengharap kepada selain-Nya... Dia adalah istri dari kak Faris bang..." ada rasa sakit yang kembali muncul saat mengingat kenyataan ini.

Aku bisa melihat ekspresi terkejut dari bang Fawwaz. Tapi, aku nggak bisa egois disini. Aku nggak mau mereka menjadi musuh seperti ini.

"Bang, adek mohon abang maafin kak Faris... Bang, Adek nggak mau hanya gara-gara kesalahan masa lalu, abang memutus tali persaudaraan sesama muslim... Bang, abang sendiri kan yang bilang kalo takdir Allah itu pasti. Adek rasa memang Allah tidak menakdirkan adek dengan kak Faris... Jadi, adek minta cukup sampai disini kalian menjadi musuh... Aku nggak mau salah satu dari kalian di benci Allah karena memutus persaudaraan." kataku kemudian.

"Qil...??"

"Iya kak."

"Kakak minta maaf yaa... Gara-gara kakak, kamu jadi seperti ini. Gara-gara kakak juga, kamu merasakan rasa sakit itu..." kata kak Faris menahan rasa sakit akibat pukulan dari bang Fawwaz.

"Iya kak, aku udah maafin kak Faris kog... Aku rasa disini kak Faris juga tidak bersalah, karena memang aku yang terlalu berharap. Tapi, dari semua ini aku mendapatkan sebuah pelajaran yang paling berharga dalam hidupku. Jadi, berhentilah menyalahkan diri sendiri."

"Trima kasih La."

"Untuk...?"

"Maaf dan bantuannya."

"Jangan berterimakasih padaku kak... Berterimakasihlah pada Allah. Kami hanya perantara saja." kataku tulus.

"Waz, makasih ya..."

Kulihat bang Fawwaz yang masih menampakkan kilat kemarahannya. Kulihat dia mencengkeram kerah kemeja kak Faris kembali.

"Abang...!!"

Kulangkahkan kakiku ingin menahan bang Fawwaz yang ingin memukulnya kembali. Namun, aku dibuat cengo dengan tingkah konyolnya, yang langsung memeluk kak Faris.

"Sama-sama. Gue juga minta maaf buat yang tadi." katanya sambil melepas pelukannya.

"Nggak, lo nggak salah. Gue emang pantes dapetin itu."

Aku tersenyum bahagia melihat mereka bisa berteman kembali. Aku bersyukur karena Allah masih menyatukan persahabatan mereka.

Rasa cemas, khawatir dan sedih kembali menghampiriku mengingat ada dua nyawa yang belum jelas kondisinya. Tubuhku tegang saat kulihat pintu ruang rawat mbak Dzikra terbuka, memunculkan sosok seorang dokter.

"Keluarga pasien...?"

"Saya suaminya, bagaimana keadaan istri dan anak saya, Dok."

"Mereka baik-baik saja. Untung saja mereka segera dibawa ke rumah sakit, jadi calon bayi bapak bisa diselamatkan."

"Ca_calon bayi...?"

"Iya, selamat istri bapak tengah hamil enam minggu."

"Alhamdulillah, terima kasih, Dok."

"Sama-sama, permisi." kata dokter berlalu.

"Selamat bro...!! Hebat lo...!!"

"Makasih, Waz...!!"

"Sama-sama." kata bang Fawwaz, yang di sambut tawa lepas mereka.

Entah apa yang harus aku ucapkan kali ini. Tapi aku sangat bahagia mendengarnya. Melihat tawa lepas mereka berdua, jelas terpancar sebuah ikatan saudara.

"Ekhemm... Selamat ya kak, semoga mereka tumbuh menjadi anak-anak yang sholih dan sholihah. Serta berbakti pada kedua orang tuanya." kataku tulus.

"Aamiinnn... Trima kasih Qil, atas do'anya, dan semoga kamu segera di pertemukan dengan orang yang namanya dituliskan bersanding dengan namamu oleh Allah di Lauhul Mahfudz."

"Hehehe... Aamiinnn...!! Makasih kak do'anya." kataku kemudian.

"Yaudah bro, kita pamit dulu. Udah hampir maghrib ini."

"Iya, maksih atas bantuannya. Hati-hati di jalan."

"Iya, Assalamu'alaikum." kata kami dan bergegas pulang setelah mendapat jawaban salam.

Lega, itulah yang kurasakan saat ini. Entah karena apa aku merasa lega, tapi yang pasti semua akan indah jika kita berjalan atas ridho dari-Nya.

***

Tbc

Jangan lupa baca Al Qur'an
Wassalamu'alaikum Wr. Wb.
😊

Antara Hati dan Iman ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang