AUTHOR POV
Bel istirahat kedua berbunyi, semua siswa berhamburan keluar kelas untuk melakukan aktivitas saat istirahat. Namun berbeda dengan Lita, gadis itu membereskan bukunya, kemudian langsung keluar kelas dan berlari menuju rooftop. Bahkan, saat Tasya, Michelle, dan Sasa memanggilnya, ia tidak menggubris.
Lita berlari menuju rooftop untuk menemui Zevan, kakak kelasnya. Namun, sesampainya di rooftop, sosok yang ditunggunya belum datang. Lita memutuskan untuk duduk dibangku usang yang tersedia di sana.
Melamun, itulah yang dilakukannya. Air matanya menetes satu persatu, lama kelamaan semakin deras. Ia teringat saat Evan memberi perhatian dan kasih sayang, yang ternyata adalah semu. Ia terlihat sangat menyedihkan sekarang, menangisi seseorang yang telah menyia-nyiakannya.
Sampai suatu waktu, perasaan sakit di dadanya membuncah. Ia bingung harus melampiaskannya pada siapa. Akhirnya, tembok di sekitarnya pun menjadi sasaran. Ia meninju tembok sekuat tenaga, tak memperdulikan rasa sakit di tangannya. Air matanya turun semakin deras, hingga untuk bernafas saja terasa sulit. Tembok yang menjadi saksi bisu, seberapa hancurnya Lita saat ini.
Lita menyerah, meluruh ke tanah. Ia melemaskan tangannya yang terasa nyeri. Ia membiarkan wajahnya yang basah karena air mata diterpa semilir angin. Andaikan Lita bisa, ia ingin menghilangkan rasa sakitnya itu bersama hembusan angin. Namun itu mustahil. Mau tak mau, ia harus tetap menghadapi semua ini.
Saat ia akan memukul tembok lagi, seseorang menghentikan pergerakannya. Ada sebuah tangan mencekal pergelangan tangan Lita. Orang itu langsung memeluk Lita dari belakang. Lita menatap kosong ke depan di dalam pelukan orang itu. Orang itu membisikkan kalimat-kalimat menenangkan. Namun perlahan tangan Lita terangkat untuk menggamit kedua tangan lain yang melingkari perutnya.
"Jangan menyakiti dirimu sendiri, Lita. Kamu boleh meluapkannya ke aku, semuanya." ucap orang tersebut.
"KENAPA RASANYA SAKIT BANGET?!" Teriak Lita frustasi.
"Sabar Lita, sabar. Tuhan nggak suka kalo kamu emosi. Kendalikan emosimu, jangan di biarkan meledak-ledak," Orang tersebut terus menenangkan.
"Tapi sakit, Michelle. Rasanya saakiit banget! Aku gak kuat," ucap Lita sambil terisak pilu.
"Aku tau, aku tau Lita. Tapi berpikirlah panjang, jangan sampe kamu menyesal di kemudian hari kalau melakukan hal yang tidak-tidak." Ucap Michelle berusaha menyadarkan Lita, ia terus memeluk Lita.
Lita tidak menjawab lagi ucapan Michelle. Ia mengontrol nafasnya, berusaha tenang.
Kemudian, Michelle mengajak nya turun dan kembali ke kelas. Tapi, Lita menolaknya dengan alasan masih menunggu seseorang. Dan Michelle mengiyakan saja, kemudian ia kembali ke kelas untuk memberikan privacy antara Lita dengan seseorang yang ditunggunya.
Sekitar 3 menit diliputi keheningan, Lita mendengar derap sepatu seseorang yang tergesa-gesa. Lita yakin bahwa itu suara langkah kaki Zevan.
"Maaf dek, tadi saya masih ada keperluan, disuruh bantuin guru."
"Iya,"
"Feel better?" Tanya Zevan sambil mengambil duduk di sebelah Lita.
"Not yet."
"Kamu habis nangis lagi ya?" Zevan menarik dagu Lita agar melihat ke arahnya.
"Ya, seperti itulah."
"Apa yang kamu rasakan sekarang?"
"Sakit kak. Di hati ku. Sakit nya kerasa sampe relung," jawab Lita, ia tak membual. Memang kenyataannya seperti itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Brutal in Love
Fiksi RemajaBagaimana jika tiba-tiba dua orang menyeretmu masuk dalam kehidupan mereka secara bersamaan? Lalu, peran konyol apa yang sedang dimainkan oleh keduanya? Adakah unsur kesengajaan di sini? Lita secara tak sengaja melakukan eyes contact dengan Darren...