Jika hal yang diharapkan Yoongi saat melihat Jihyo sadar adalah sebuah senyuman yang terukir dari bibir gadis itu. Sepertinya ia memang harus mengubur semua bayangan indah yang ada dibenaknya. Karena pada kenyataannya hal itu tidak pernah terjadi. Sekalipun terdengar kalimat bahwa dirinya tidak apa dan masih sempat menatap wajah Yoongi, tapi kenyataan yang ada saat ini adalah Jihyo tengah terbaring lemah di ranjang ruangan yang bernuansa putih ini.
Yoongi berdiri lesu diantara lorong temaram yang ada disalah satu lantai rumah sakit ini. Pandangannya sendu menatap tembok putih yang terlihat keabu-abuan akibat minimnya cahaya yang menyinarinya. Kepalanya menyatu dengan bidang datar itu, sesekali terlihat ia membenturkan kepalanya kedinding itu.
"Bodoh!!"
Yoongi mengumpat sembari memukul dinding itu dengan tangan kanannya. Air matanya mengalir begitu saja dari pelupuk matanya. Merutuki segala yang telah terjadi. Menyesali apa yang telah ia perbuat hingga membuat nyawa sang gadis berada dalam bahaya.
Masih terekam dengan jelas bagaimana terakhir kali Jihyo menutup matanya, dan masih sangat jelas Yoongi mengingat bagaimana alat defibrillator sialan itu bekerja untuk menormalkan kembali detak jantung sang gadis yang sempat berhenti hampir 15 detik lamanya.
Membayangkannya saja sudah membuat tubuh Yoongi bergetar. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi bila alat itu tidak bekerja dengan baik. Pasti saat ini ia tidak akan bisa melihat Jihyo bernafas kembali. Mungkin saat ini ia tak akan bisa lagi berdiri seperti saat ini. Rasa bersalah dan penyesalan memuncah begitu saja dari dalam hatinya. Kata "andai" tidak akan ada gunanya lagi untuk diucapkan. Karena semua sudah terlanjur terjadi. Tidak ada yang bisa diperbaiki.
"Bodoh!! Bodoh!!"
Yoongi kembali memukulkan kepalan tangannya pada dinding bercat putih itu. Dia bahkan tidak peduli jika saat ini buku jari tangannya sudah terluka akibat ulah yang telah ia lakukan. Yang ia pedulikan saat ini hanya bagaimana menyalurkan rasa penyesalan yang terus berteriak dari dalam hatinya. Rasa bersalah yang telah membuatnya hampir gila.
Kau hampir membunuhnya...
Sial..
Kalimat itu terus meraung hebat didalam otak dan pikiran Yoongi. Kalimat yang sangat tidak ingin ia dengar tapi terus terdengar didalam batinnya. Seperti sebuah lagu barat yang di mode reverse. Tersembunyi tapi sangat mengerikan.
"Berhentilah memukul dinding, karena dinding tidak dapat memukulmu balik."
Sebuah kalimat seketika menghentikan tangan Yoongi untuk kembali memukul bidang datar itu. Ia menoleh kearah sumber suara. Dilihatnya Namjoon berjalan mendekatinya dan menuntun tubuh pemuda itu untuk duduk pada kursi tunggu yang ada didepan ruangan.
Namjoon menarik tangan Yoongi dan menempelkan beberapa plester luka pada buku jarinya yang berdarah. Ya, sejak Yoongi menelpon dan mengabarkan jika Jihyo masuk rumah sakit dua hari yang lalu, Namjoon memang terus ada untuk mendampingi Yoongi. Lebih tepatnya menjaga Yoongi agar tidak melakukan hal-hal yang menyakiti dirinya sendiri. Karena Namjoon tahu betul bagaimana sifat Yoongi yang sedang frustasi. Ia tidak akan segan-segan untuk melakukan hal yang gila sekalipun untuk meredam rasa penyesalannya.
"Jika kau terus seperti ini, kau malah akan lebih melukainya. Kau ini bodoh atau apa?!" Namjoon kembali berujar sembari menatap pintu kamar pasien yang tertutup rapat.
"Tidakkah kau menyadari jika saat dia sadar nanti dan melihatmu terluka seperti ini, ia akan kembali menyalahkan dirinya sendiri sama seperti saat ia membuat alergimu kumat." Lanjut pemuda itu.
Yoongi menggeleng. "Ini bukan salahnya. Ini salahku." Ucapnya lirih.
"Aku tahu, semua ini adalah salahmu. Tapi itu tidak akan berarti bagi Jihyo. Ia akan tetap menyalahkan dirinya sendiri. Kau tahu karena apa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
The Devil Producer (Min Yoongi) - END
Fiksi Penggemar[WARNING :17+] [PRIVATE] Akibat kecerobohannya, Jihyo gadis berusia 21 tahun harus terjebak pada sebuah perusahaan agensi milik keluarga Min Yoongi mantan kekasihnya waktu SMA. Setelah sekian lama, takdir mempertemukan mereka kembali dalam situasi y...