11. Debate (Again)

1.6K 54 2
                                        

I don't need to try more if my heart keeps saying no. Cause it'll be useless.

🎹 🎹 🎹

Esok sore, terlihat wanita paruh baya membawa tas berwarna merah kecoklatan masuk ke dalam rumah Arin. Arin menyambut wanita tua itu. "Bu Mela."

"Arina Ella, sudah lama sekali Ibu tidak melihat kamu, kecuali di TV, hehehe." Arin hanya menjawab dengan tertawa kecil pada Bu Mela. "Kita langsung mulai saja. Mana pianonya?"

"Di studio musik, Bu," Arin berjalan menuju studio bersama Bu Mela.

Terlihat piano yang sedikit berdebu. "Aduh! Kok, berdebu? Kamu jarang main?"

"Iya, Bu Mela. Arin memang sudah jarang main."

"Ya sudah, cepat kamu bersihkan pianonya," titah Bu Mela.

"Arin ambil lap di dapur dulu ya, Bu," ucap Arin dengan sopan.

Bu Mela hanya menjawab dengan anggukkan.

Kok agak nyebelin, ya? Belum belajar aja udah bikin bete, gimana pas belajar nanti? Ini adalah ide ayah yang paling buruk, batin Arin menggerutu sambil berjalan ke dapur. Selesai Arin membersihkan debunya, Bu Mela mengambil buku musik dari tasnya.

"Coba kamu mainkan lagu ini," Bu Mela menunjukkan lembar lagu yang berjudul Turkischer Marsch.

Arin mulai memainkannya meski tangannya sedikit gemetar. Ia pun tetap mencoba memainkannya. Entah bagaimana jari-jarinya berfungsi kembali di atas piano dan Arin senang dengan itu. Sambil tersenyum puas, Arin tetap mengikuti setiap not balok pada kertas. Bu Mela memejamkan matanya karena menikmati lagu yang dimainkan Arin.

Tiba-tiba jari Arin kembali gemetar, dan Arin mulai panik. Ia kembali teringat pada memori. Ia mendengar dalam pikirannya suara kaca pecah dari lighting yang menimpa bunda. Arin nyeri mendengarnya dan akhirnya,

TENG!!

Suara dengan nada yang salah berbunyi dengan nyaring.

Bu Mela membelalakan matanya dan menatap Arin tajam. "Kok salah? Seharusnya si baru do. Bukannya do baru re."

"Maaf Bu, Arin masih takut bermain piano."

"Ya sudah, lanjutkan," ketusnya.

Saat Arin memainkannya kembali, jari Arin semakin gemetar dan membuatnya salah menekan tuts lagi. "Duh, maaf, Bu Mela."

"Mungkin lagu ini terlalu susah buat kamu," remeh Bu Mela, seolah-olah dari awal Arin salah memainkannya.

Sial, dia meremehkan gue, batin Arin, dan tak sadar bibirnya sudah mengerucut.

Bu Mela mengambil kertas Turkischer Marsch dan menggantinya dengan lagu lain. Lalu jari Arin mulai tak berfungsi di atas tuts piano, dan Bu Mela kembali kesal. "Gimana mau jadi pianis kayak Bunda kamu, kalau kamu mainnya salah kayak begini terus?"

Saat ini dada Arin terasa sesak karena Bu Mela mulai membawa-bawa nama bundanya. Arin benci bila dirinya dibanding-bandingkan dengan orang lain. Dengan tangan gemetar Arin mencoba memainkan kembali lagunya. Lama-lama Bu Mela membuat dirinya semakin jengkel.

Setelah 30 menit lamanya, Bu Mela menyudahi les pianonya. Hati Arin yang tadinya jengkel kini menjadi lega. Arin tak sabar menunggu ayahnya pulang agar ia bisa melaporkan segala hal yang terjadi.

🎹

"Bi, Ayah belum pulang?" tanya Arin kepada Bibi yang saat itu sedang menyiapkan makan malam.

Arina EllaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang