Selama pelajaran di sekolah, Arin terus menerus melihat jam tangannya. Ia sangat tidak sabar dengan nanti sore yang akan bertemu dengan Om Radit. Setelah melalui harinya di sekolah, waktu kini menunjukkan pukul tiga sore. Yap! Arin akan segera berangkat ke studio rekaman Om Radit.
Ketika hendak keluar dari lorong sekolah, Elvan datang menghalangi jalannya.
"Arina," ujar Kak Elvan.
"Kak Elvan, hai!" jawab Arin.
"Mau kemana? Buru-buru amat?" tanya Elvan.
"Arin mau ke studio rekaman, Kak," jelas Arin.
"Studio rekaman?" tanyanya dengan bingung. "Kamu balik lagi bermusik?"
Arin mengangguk dengan riang.
Senyuman Elvan seketika melebar hingga membentu lesung pipit pada pipinya. "Selamat Arina!" puji Elvan. "Bagaimana kalau kita rayain keberhasilan kamu dari trauma? Aku traktir kamu," pinta Elvan dengan memohon.
"Umm..." Ini sudah ketiga kalinya Elvan mengajaknya keluar, namun ia belum pernah meng-iya-kan jawabannya. Arin jadi merasa tidak enak sekarang.
Hmm, apa salahnya bila makan bareng Kak Elvan usai dari studio rekaman? batin Arin. Tadi pagi Arin hanya meng-sms Om Radit bila dirinya hanya ingin berbincang dengan Om Radit. Jadi tentu di studio tidak akan memakan waktu lama.
"Boleh, Kak. Bagaimana nanti setelah dari rekaman studio?" tanya Arin.
"Boleh. Aku jemput kamu di rekaman studio, ya. Kasih tahu aja alamatnya di mana," ucap Elvan dengan wajah yang sangat senang karena Arin telah menerima ajakannya untuk makan bersama.
"Oke. Nanti Arin Line."
Setelah berbincang dengan Elvan, Arin pergi ke tempat parkir dan meminta Pak Pram untuk mengantarkannya ke studio rekaman.
🎹
Ketika tiba di studio, Arin meminta Pak Pram untuk tidak perlu menunggunya karena nanti akan dijemput dengan temannya, Elvan. Awalnya Pak Pram menolak karena takut ditegur oleh ayah Arin bila pulang terlalu larut. Namun, setelah Arin membujuk lagi Pak Pram, akhirnya Pak Pram menurut.
Kini Arin berada di depan pintu masuk studio. Ia menghela napas kemudian masuk dengan senyuman. Di lobi ada resepsionis perempuan yang sedang menatap Arin. Umurnya kira-kira dua puluh tiga tahun dan masih muda.
"A-Arina Ella, bukan?" tanya resepsionis dengan wajah terkejut.
"Ya," jawab Arin dengan senyuman. Kemudian Arin melihat pin pada baju resepsionis yang bertuliskan namanya Dhea. "Hai Dhea!" sapa Arin.
"Sudah lama sekali kamu tidak ke sini semenjak—" ucapan Dhea terhenti karena sadar dirinya salah berkata di depan Arin. Tidak seharusnya ia membicarakan Steffie Ella di depan Arin. "Aduh maaf, Arina."
"Ya, Arin sudah lama nggak ke sini semenjak Bunda nggak ada. Tapi Arin nggak apa-apa, kok," ucap Arin sambil tersenyum untuk meyakinkan Dhea dirinya memang baik-baik saja.
"Kamu mau bertemu Pak Radit?" tanya Dhea.
"Ya. Tadi pagi Arin udah bilang dengan Om Radit. Nggak tahu deh, Om Radit lupa nggak, ya?"
Dhea tersenyum girang, "Tentu ia tidak akan lupa, Arina. Dari dulu Pak Radit selalu menunggu kamu akan kemari untuk join dengan kita."
"Oh ya?" tanya Arin yang mengerutkan dahinya.
"Ya!" Kemudian Dhea mengambil telepon di atas mejanya. "Sebentar, ya. Biar kupastikan dulu Pak Radit," ucap Dhea yang kini mengambil telepon untuk menghubungi Om Radit yang sedang berada di ruangannya. "Pak Radit, Arin sudah menunggu Anda di lobi," ujar Dhea dalam teleponnya dengan Om Radit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arina Ella
Teen FictionCOMPLETED✅ 🎥Yuk, tonton Trailernya di Chapter pertama sebelum baca ((: --- Arina Ella gadis SMA yang merupakan anak dari seorang pianis dan penyanyi terkenal, Steffie Ella. Bakat musik bundanya menurun pada Arina dan membuatnya juga ingin menjadi p...