10. Debate

1.4K 57 0
                                    

"APAA?!" Bagas menaruh garpu dan sendok dengan keras di atas piringnya.

Oh, my! Ayah marah, aduuuuh, batin Arin ketakutan.

Arin sangat takut untuk menatap ayahnya sekarang. Ia merundukkan kepala sambil melihat sendok yang ia putar-putarkan di atas piring.

Dika menjadi kikuk berada di antara perdebatan ayah dan anak, di tambah ia bukan siapa-siapa dalam meja makan ini.

"Maafin Arin karena nggak bilang ke Ayah dulu sebelum ngundurin diri."

"KAMU KETERLALUAN ARIN!!" bentak Bagas.

Arin memberanikan diri untuk menatap ayahnya, "Arin nggak bermaksud gitu, Yah."

"Apa alasan kamu?!" Kini Bagas melipat kedua tangannya di depan dada.

"Arin trauma kejadian Bunda, Yah!" nada suara Arin meninggi. Mata Arin yang tadinya berkaca-kaca, sekarang air matanya telah jatuh. "Ayah kan nggak ngeliat langsung kejadian pas tragedi itu, sedangkan Arin? Arin ngeliat langsung, Yah! Arina ngeliat di depan mata pas Bunda tertimpa that damn lighting!"

"Arin, lo lagi bicara sama Ayah lo," tegur Dika yang shock mendengar Arin berbicara kasar.

"Biar saja Dika," kata Bagas, "kalau Bundanya di sini, dia pasti kecewa. Apalagi saat Arin ngundurin diri dari lomba. Berarti Arin sudah mengecewakan dan merusak impian Bunda pada anaknya. Arin gagal membahagiakan Bundanya."

Kalimat yang ayahnya lontarkan membuat hati Arin kecewa. Perasaan ingin menangis tapi juga marah menjadi campur aduk. Ia benar-benar kehilangan nafsu makannya sekarang. Dengan segera, ia meninggalkan meja makan tanpa mempedulikan ayahnya mau pun Dika.

Bagas pun sadar akan ucapannya yang seharusnya tidak ia lontarkan pada Arin. Ia pun memanggil Arin. "Arin berhenti."

Arin tetap mengacuhkan ayahnya dan terus naik ke atas tangga menuju kamarnya. Saat melihat kasur, Arin langsung ke atas kasur dan merangkul lututnya. Ia menangis sambil melihat lemari kaca yang berisi piala-piala lomba piano miliknya.

"Apa benar Bunda kecewa dengan Arin?" gumam Arin seolah-olah ia sedang berbicara dengan bunda. "Dari dulu Bunda selalu senang melihat piala-piala itu karena Bunda bangga sama Arin saat Arin memenangkan lomba piano."

Arin pun menangis kembali dan mencari bantal untuk menutupi wajahnya.

Di ruang makan, Bagas menjadi resah dan akhirnya ia memutuskan untuk ke kamar Arin. "Dika, Om tinggal sebentar, ya."

Dika mengangguk sebagai jawaban ya.

Dengan segera, Bagas pergi menuju kamar Arin. Saat membuka pintu, "Arin?" Bagas mendekat lalu mengelus kepala Arin. Arin diam tak merespon.

"Ayah minta maaf, Arin. Maafin, Ayah salah ngomong," ujar Bagas sambil memeluk Arin

Air mata Arin pun mengalir. "Semua ini salah Arin! Arin nggak seharusnya ngundurin diri," kata Arin sambil memeluk balik ayahnya dengan erat.

Arin pun menjadi percaya dengan perkataan ayahnya tadi, ia pasti telah mengecewakan bundanya di sana. "Ayah benar, Arin telah mengecewakan Bunda. Arin ingat Bunda selalu antusias saat Arin ikut lomba. Bahkan Bunda pernah ninggalin undangan perform hanya untuk melihat Arin tampil." Arin menangis terisak-isak.

"Shusshh," Bagas memeluk Arin semakin erat, "Ayah yang salah. Ayah terlalu egois, memaksa kamu sedangkan mental kamu masih belum kuat. Sepertinya kamu memang butuh waktu untuk memulihkan mentalmu setelah melihat tragedi itu di depan mata kamu langsung."

Lalu Bagas melepaskan pelukkannya dan memegang kedua bahu Arin, "Tapi kamu harus janji nggak akan berhenti memaikan piano, ya," ucap Bagas memohon.

Arina EllaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang