Alfian Selalu Ada

97 4 1
                                    

Adinda menidurkan Adrian kembali ke atas kasurnya. Ia pun tak lupa mengecup rambut pirang anaknya yang masih terlelap itu.

"Adrian, mommy seneng banget, dapet kiriman kado dari Papa sama Kakak kamu." ucap Adinda bahagia kepada anak laki-laki berusia 1 tahun yang sedang terlelap di hadapannya.

Adinda pun segera membuka box kecil di tangan kanannya yang katanya adalah pemberian dari suami tercintanya. Adinda pun menemui secarik surat tergulung yang sudah sangat tak sabar ia baca.

Istri dan ibu macam apa kamu, Dinda? Tega-teganya kamu meninggalkan keluargamu di Jakarta selama 13 tahun lebih. Pulang kamu, Dinda. Ingat, kamu punya, suami, dan dua anak yang juga membutuhkanmu disini.

Adinda mengakhiri aktivitas membacanya dengan heran. Apa?

Ia pun segera mengambil paper bag yang katanya adalah pemberian dari Alfian. Ia membuka paper bag tersebut dan mendapati sebuah mug yang telah hancur berkeping-keping.

Pulang, Ma. Fian sama Katya udah nunggu mama disini. Fian sama Katya kangen.

Adinda mengucek ujung matanya, menghindari resiko air mata yang sebentar lagi akan tumpah di pipinya.
"Mama juga kangen sama kamu, Fian, Katya." bisik Adinda.

Namun, ia heran. Mengapa Alfian mengirim barang yang sudah pecah?

***

"WOI YAN!" panggil Ricky urakan.

Alfian menghampiri Ricky dengan gaya kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana. "Kenapa, Brother?"

"Sabtu ngegeng kuy!" ajak Ricky.

"Ngegeng dimana nih?" tanya Alfian.

"Yaelah, Yan. Daerah biasalah, kita tancep gas bareng subuh-subuh!"

Alfian melipat kedua tangannya di depan dada dan nampak berpikir sejenak. "Ky, kayaknya gue mau cabut deh dari Thunder. Motor gue sekarang nggak boleh keseringan diajak balapan."

"Hah? Kocak banget, Yan, candaan lo! Mana mungkin sih lo cabut dari Thunder? Terus lagian ya, kalo tuh motor lo nggak boleh dipake buat balapan, buat apaan coba?" tanya Ricky setengah terkekeh.

Alfian menepuk-nepuk pundak Ricky santai. "Lo harusnya seneng dong kalo gue cabut dari Thunder. Nanti lo yang bakal jadi ketuanya, gantiin gue."

"Apaan sih, Yan, please deh ya lo nggak usah main-main."

"Gue nggak main-main, Ky. Muka gue aja lagi serius nih," Alfian meyakinkan.

"Apa alasannya sih, Yan?" Ricky penasaran.

"Ya gue nggak mau aja si Scarlett, kesayangan gue, digasin mulu tiap minggu." jawab Alfian santai.

Ricky menggeleng-gelengkan kepalanya heran. "Kok lo jadi berubah sih, Yan, semenjak deket sama Eriska?" Ricky heran. "Jadi, lo mau ikut tancep gas minggu ini nggak?"


"Gue kan udah bilang, gue mau keluar dari Thunder. Mungkin malam minggu besok gue ikut nongki di markas sampe jam sebelas aja, serah-terima jabatan sama lo, abis itu gue balik." tukas Alfian yakin.


"Jadi, lo serius, Yan?" tanya Ricky setengah tak percaya.

Alfian hanya membalas Ricky dengan anggukan kepala lalu bergegas meninggalkan kantin.

***

"Ris, ajarin gue geografi dong! Ini nih yang ngi--"

"Eh, temenin gue belajar yuk?" kata Alfian tiba-tiba.

Eriska yang tadinya sedang sibuk dengan buku catatan geografinya segera menatap Alfian dan Alifia bingung.

"Kok lo disini, Kak?" Eriska menanggapi kehadiran Alfian.

"Temenin gue belajar yuk?" Alfian mengulanginya.

"Ris, please ajarin gue dulu. Ini sumpah deh, gue nggak ngerti apa-apa." Alifia memohon.

Eriska menggigit bibir bawahnya ragu. Di satu sisi, Alifia adalah sahabatnya dan sekarang Alifia sedang membutuhkan bantuannya untuk mengajari. Sedangkan, di sisi lain, Eriska bisa menangkap sorotan mata Alfian yang terlihat memaksanya.

"Harusnya kalo mau minta diajarin tuh dari semalem. Jangan ganggu Eriska nya yang lagi belajar hafalan, rese banget sih lo jadi temennya!" omel Alfian kepada Alifia.

"Duh, Alif, maaf ya. Sini sini, gue ajarin lo rumusnya. Kak, maaf banget gue nggak bisa nemen-- Kak! Kak!" ucapan Eriska terpotong ketika Alfian telah menarik tangannya dengan paksa. Mengharuskan Eriska mengikuti kemana langkah Alfian yang sibuk menggeret tangannya.

Sepanjang koridor, Eriska sibuk meronta-ronta agar Alfian mau melepaskan cengkeraman tangannya. Namun, hasilnya nihil. Alfian terus menggeret tangannya sampai tiba ke suatu tempat.

"Jangan protes. Maksud gue baik!" kata Alfian ketika Eriska sudah bersiap merutukinya.

"Maksud baik apaan? Gue lagi mau ngajarin Alif, lo tarik-tarik kayak kambing gila!" oceh Eriska sambil menatap Alfian sebal.

"Nggak inget waktu itu gue ngomong apa, huh?" Alfian bertanya dengan nada sadis.

"Ngomong apa sih? Yang mana?"

"Lo harus sama gue terus, Eriska." jawab Alfian cepat.

"Dih, berlaku tuh omongan lo, Kak?" tanya Eriska heran.

"Eh, gue serius. Gue nggak main-main. Nanti suatu saat, lo bakal ngerti kenapa gue ngomong kayak gitu sama lo!" Alfian kesal.

Eriska hanya bisa mengerucutkan bibirnya lalu membuang pandangannya dari Alfian.

"Duduk samping gue. Temenin gue belajar," titah Alfian sambil menarik tubuh Aulia duduk ke sebuah bangku panjang.

Alfian pun mulai sibuk mempelajari power point dari ponselnya kemudian terlihat mulai menghafalnya dengan serius. Sementara, Eriska justru sibuk mengatur napasnya dan berusaha sekeras mungkin untuk mengunci mulutnya.

"Eh, lo nggak belajar?" tanya Alfian peduli.

"Mana konsen sih, belajar di pinggir lapangan gini! Gelo lo ya emang!" jawab Aulia sebal.

Alfian terkekeh mendengar respon Eriska.

Lucu. Ngegemesin.

Alfian pun segera mengeluarkan headset dari saku hoodie hitamnya kemudian mencolokkan benda tersebut ke ponselnya.

"Katanya, lo lebih konsen belajar kalo sambil dengerin musik. Nih, gue turutin. Asal lo tetep duduk disini, di pinggir lapangan, sebelahan sama gue. Terus nanti mata lo merem aja sambil ngulangin hafalan di otak lo, nggak usah peduliin orang-orang yang ngeliatin kita berdua. Mereka cuma iri." ujar Alfian sambil memasangkan sebelah headset nya ke telinga Eriska dan sebelahnya lagi ke telinganya.

Alfian pun memutar lagu 505 dari Arctic Monkeys dan mulai mengalunlah lagu tersebut di telinga kedua insan itu.

God's PlanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang