Mantan dan Kembaran

87 3 0
                                    

Alfian berdiri di samping telepon rumahnya sambil menatap benda tersebut dengan ragu. Benar-benar ragu.

"Fian, kamu lagi ngapain?" tanya Adinda yang datang dari belakang secara tiba-tiba.

Alfian sedikit terkejut lalu menatap ibunya. "Lagi bingung, Ma."

"Bingung kenapa? Apa yang lagi kamu pikirin, Yan?" tanya Adinda dengan lembut.

Alfian tersenyum tipis lalu menghela napasnya panjang. "Fian mau ketemu sama Eriska. Tapi, Fian bingung. Mau nelepon rumahnya dulu juga ragu. Fian harus gimana sekarang," keluh Alfian kepada ibunya.

Adinda begitu memahami puteranya. "Kamu datengin rumahnya sekarang."

"Nggak semudah itu, Ma." jawab Alfian cepat.

"Kamu bisa, Yan. Mama tahu, kamu masih sayang banget sama Eriska." Adinda terdengar mendukung.

Alfian benar-benar buntu. Ia tidak bisa membayangkan respon Eriska saat melihatnya datang nanti.

"Mama doain kamu." ucap Adinda dengan lembut.

"Fian ragu, Ma. Rasanya ragu banget. Lagian, Fian kan udah bukan siapa-siapanya lagi. Fian cuma bayangan masa lalunya. Cuma mantan, Ma."

***

Alfian mengendarai Scarlett-nya, menembus kepadatan Jakarta sore itu. Setelah hampir seharian ia mempertimbangkan hal ini matang-matang, ia pun memberanikan diri untuk menemui Eriska. Si mantan terindah.

Jarak menuju rumah Eriska sudah tidak begitu jauh lagi dan entah mengapa Alfian semakin semangat memacu motor kesayangannya itu.

Beberapa menit kemudian, Alfian pun telah tiba di depan rumah Eriska. Belum ada perubahan. Bahkan, warna pagarnya pun masih sama.

Jelaslah, baru juga beberapa bulan.

Alfian memasuki halaman rumah Eriska yang kebetulan pada saat itu kondisi pagarnya sedang terbuka. Namun, ada sesuatu yang menonjol di halaman rumah Eriska. Ada sebuah motor Honda CB100 yang terparkir persis di samping motor Ninja milik Alfian. Alfian jadi penasaran. Motor siapa?

"Nak Alfian!" seru seorang wanita dari arah belakang Alfian.

Alfian langsung menolehkan kepalanya dan mendapati Fika disana.
"Eh....Tante!"

Fika segera mendekati Alfian lalu memeluknya sejenak. "Ya ampun, Alfian. Tante kangen betul sama kamu. Apa kabar, Fian?"

Alfian sungguh tak menyangka bahwa ia mendapat sambutan baik dari ibu Aulia. "Kabar Fian baik, Tan. Tante sendiri gimana?"

"Baik juga, Fian. Aduh, kamu kok makin ganteng ya. Jangan-jangan kamu yang paling ganteng seantero ITB," Fika terkagum-kagum. Padahal, tidak banyak perubahan yang ada dalam penampilan Alfian. Hanya saja badannya yang semakin berisi juga rambutnya yang kini dipotong cepak sehingga terkesan lebih manly.

"Tante berlebihan sama saya. Masih banyak kok, Tan, yang jauh lebih ganteng daripada saya di kampus." Alfian merendah.

"Ih, Tante mah apa adanya, Fian. Kamu itu emang makin ganteng kok. Tante yakin, kalo Eris lihat kamu sekarang, dia bisa-bisa naksir sama kamu lagi loh." goda Fika.

Alfian terkikik geli. Ibu Eriska ini memang bisa saja. "Eriska ada kan, Tante?"

"Oh, ada. Nih, malah lagi ada temennya." jawab Fika jujur.

"Cowok ya, Tan?"

Fika menganggukkan kepalanya. "Masuk aja yuk, Nak Alfian. Panas kalo ngobrolnya disini mah,"

Alfian menurut dan mengikuti langkah wanita berusia empat puluh tahunan itu. Entah mengapa, Alfian mendadak gugup. Gugup sekali.

"Eris, Eris..." panggil Fika dari ruang tamu.

"Iya, Ma?"

"Sini ke ruang tamu. Ada tamu kamu nih," jawab Fika lagi.

"Siapa sih, Ma? Aku lagi nanggung nih bikin donatnya."

"Sini dulu, Ris. Tamunya dateng dari jauh gini loh, spesial mau ketemu kamu."

Alfian tersenyum miring. Spesial nyariin kamu.

Setelah itu tidak terdengar jawaban lagi dari Eriska, namun kini sosok Eriska justru sudah muncul di hadapan Alfian. Alfian melihat ujung sandal jepit berwarna hijau muda yang dipakai Eriska berada tak jauh dari ujung sepatunya.

"Ini loh Alfian, jauh-jauh dateng dari Bandung." jawab Fika sambil menyentuh bahu Alfian.

Alfian pun langsung mendongakkan kepalanya dan beradu tatap dengan manik mata Eriska. Kelu. Juga bungkam.

"A... Alfi?" Eriska gemetar.

Alfian masih bungkam. Kenapa ia jadi segugup ini? Bukankah ia yang sangat bertekad untuk menemui Eriska sejak tadi pagi bahkan sejak ia masih di Bandung?

Fika paham, keduanya butuh waktu. Ia pun langsung menyingkir dari tempat itu secara diam-diam.

"Lo ngapain, Al?" tanya Eriska dengan cepat.

Alfian tetap diam. Diam seribu bahasa.

"Jawab, Al." Eriska meminta. Ada nada memaksa di perkataannya tersebut.

"Gue pengin ketemu lo aja. Sebentar aja, Ris." Alfian akhirnya menjawab.

Eriska menatap Alfian dalam-dalam. Sebenarnya Eriska sendiri pun sangat menantikan kesempatan ini dalam hidupnya. Kesempatan dimana Tuhan masih memberinya waktu untuk bertemu kembali dengan cinta pertamanya itu.

"Ap... Apa kabar, Ris?" tanya Alfian dengan suara bergetar kemudian langsung menundukkan kepalanya.

"Baik. Alfi gimana?" Eriska mampu bertanya balik.

"Kabar baik, Ris. Lo gimana sekolahnya? Udah punya adik kelas ya?" tanya Alfian masih dengan kekakuannya.

Eriska hanya menjawabnya dengan dehaman. "Duduk, Al." kali ini Eriska mempersilakan. Alfian pun menurut dan segera duduk di dekat Eriska. Namun, tetap ada jarak.

"Kuliah di ITB enak ya?" Eriska gantian membuka topik.

"Sejauh ini, gue masih nyaman. Ya, ini semua juga karena Papa dan demi Papa. Kalo nggak ada Papa, gue nggak akan pernah jadi mahasiswa ITB kali. Gue sambil kerja sih di Bandung," Alfian bahkan menjelaskannya.

"Oh iya, bener tuh, Al. Lo harus hargai semua yang udah diperjuangin sama almarhum bokap lo." jawab Eriska. "Di Bandung, kerja di apa?"

"Di kafe, gue barista."

Eriska menganggukkan kepalanya tanda paham. "Lumayan ya. Bisa buat biaya hidup sendiri, udah mandiri lo ya sekarang."

"Emangnya dulu nggak?"

Eriska mengedikkan bahunya. Mulai canggung.

"Eris, ini donatnya diapain lagi?"

Eriska dan Alfian refleks menolehkan kepalanya ke sumber suara. Alfian bahkan langsung terkejut.

"Alfi, kenalin ini temen baru gue. Dia anak baru di kelas 11, kebetulan sekelas sama gue. Namanya Havana, orangnya emang... agak kocak gitu sih. Kenalan ya," Eriska jadi kikuk. Ia pun langsung memperkenalkan Havana kepada Alfian. "Van, ini dulunya kakak kelas gue. Baru aja lulus tahun ini dan sekarang udah jadi mahasiswa ITB. Namanya Alfian,"

Alfian dan Havana masih saling melempar tatap. Bingung, satu sama lain.

Eriska mulai grogi. Pasti keduanya menyadari bahwa memang wajah mereka memang mirip. Untung saja postur tubuh Alfian yang sekarang sedikit lebih besar dan bertambah tinggi dan masih dibedakan dengan tubuh Havana yang kurus dan tipis.

"Lo.... Adek gue?" "Lo.... Abang gue?"

Keduanya bertanya serempak.

"Kita mirip banget!"

God's PlanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang