Pulih

103 5 0
                                    

"Fian, ayo dimakan sarapannya." pinta Adinda secara lembut.

Alfian tidak menjawab ibunya. Pandangannya kosong dan tetap menatap lurus ke depan.

"Dimakan, Nak. Nanti kamu malah kena mag," bujuk Adinda lagi.

"Kenapa Papa ninggalin Fian, Ma?" Alfian membalas ibunya dengan pertanyaan itu.

Adinda menunduk lalu menghela napasnya panjang. "Karena Tuhan lebih sayang sama Papa. Tuhan nggak mau lihat Papa terus-terusan tersiksa dengan sakitnya,"

"Tapi kenapa harus di saat Fian belum pernah ngebanggain Papa sama sekali, Ma? Selama ini Fian cuma selalu bikin Papa marah, marah, dan marah." Alfian mulai terbawa emosinya lagi.

Adinda mendekap Alfian ke dalam dekapan hangatnya. "Ssst... Fian, jangan suka nyalahin diri sendiri. Kamu sama sekali nggak salah disini. Papa pergi lebih dahulu karena Tuhan nggak mau papa semakin ngerasain sakitnya sendirian. Kalau Papa masih hidup, emang kamu sanggup liat Papa yang selalu batuk berdarah dan sering sesak napas?"

Alfian masih bungkam. Namun, tanpa sadar, ia menggelengkan kepalanya.

"Kamu doain yang terbaik buat Papa ya? Doain Papa hidup tenang di atas sana, maafin semua kesalahan Papa. Mungkin Papa pernah kasar sama kamu, pernah mukul kamu, pernah ngebentak kamu." sambung Adinda.

"Iya, Ma. Fian udah maafin semua kesalahannya Papa. Justru Fian yang nyesel, Ma. Fian belum minta maaf sama papa, Fian belum denger suara Papa hari itu bahkan Fian pergi tanpa pamit sama Papa."

"Papa pasti udah maafin kamu, Fian. Papa kan sayang banget sama kamu," jawab Adinda lagi.

"Tapi, Ma, selama ini Fian selalu kurang ajar sama Papa. Fian selalu ngebangkang, Fian sel--"

Tok tok tok

Adinda menolehkan kepalanya ke sumber suara.

"Fian, Mama bukain pintu dulu ya?"

Adinda pun bergegas menuju pintu ruang rawat Alfian dan melihat siapa yang datang.

"Eh, Eriska, mari masuk." sambut Adinda.

"Makasih, Tante." jawab Eriska sambil melangkahkan kakinya memasuki ruang rawat Alfian.

Eriska langsung tersenyum lebar ketika melihat Alfian yang telah sadarkan diri bahkan sudah bisa duduk. Pujaan hatinya sembuh dan tidak pergi meninggalkannya.

"Kamu baru pulang sekolah?" tanya Adinda ramah.

"Iya, Tante. Hari ini pulang cepet. Soalnya tadi cuma ada upacara pengangkatan jabatan kepala sekolah buat Pak Syaiful. Terus, kita dikasih free time gitu sih di kelas. Cuma ya karena aku bosen, aku pulang aja deh. Mending aku kesini," tutur Eriska sambil menggaruk tengkuknya.

"Siapa yang ngajarin kamu berani madol?" Alfian menyambar.

"Nggak ada." balas Eriska masih dengan gaya sok jual mahalnya pada Alfian.

"Ya ampun, Eriska. Nanti kalo kamu dicariin sama guru kamu, gimana?" Adinda menengahi.

"Nggak apa-apa, Tante. Nggak bakal ada yang nyariin juga kok," jawab Eriska.

"Alah, sok merendah kamu. Pasti banyaklah yang nyariin kamu di sekolah." sambar Alfian lagi.

Eriska berdecak. Kenapa sih harus nyamber mulu?

"Soalnya kamu kan cantik. Kalo kamu cabut dari sekolah gitu aja, nanti cecannya hilang dong. Ketara banget," goda Alfian.

Adinda mengulum senyumnya. Puteranya baru sembuh pun sudah bisa menggombali gadis lain.

"Oh iya, Eris, tante mau ke apotek sebentar ya. Sepertinya ada obatnya Fian yang harus dibeli disana. Kamu disini sebentar ya, ngobrol-ngobrol aja dulu sama Fian." pamit Adinda tiba-tiba.

Eriska mengangguk paham dan membiarkan Adinda keluar dari ruang rawat Alfian begitu saja. Kini, tersisa Alfian dan Eriska dalam satu ruangan tersebut.

"Kamu--"

"Kamu--"

Keduanya mengucap bersamaan.

"Apa? Aku nggak salah denger kan? Kamu manggil aku dengan kata 'kamu' ? Bukan pake 'lo' ?" sela Alfian tiba-tiba.

"Apaan sih, halu kali lo! Tadi kan kita ngucapnya barengan, makanya lo dengernya gue ngomong 'kamu' !" Eriska menyangkal.

"Gitu ya? Ya udah, mungkin aku yang halu. Kamu duluan yang ngomong." Alfian mengalah.

"Lo kenapa bisa sampai kecelakaan gini sih?" tanya Eriska sinis.

"Namanya juga lagi apes." jawab Alfian singkat.

"Lo nggak nyantai sih bawa motornya!" serang Eriska.

"Kan aku lagi panik. Maunya pengin cepet-cepet sampai rumah sakit, pengen ketemu bokap." jawab Alfian lagi.

"Dasar ceroboh." cibir Eriska.

Alfian mengangkat sebelah alisnya. "Kata Daffa, kamu khawatir. Terus, katanya kamu nangis-nangis di samping aku."

Eriska membulatkan matanya terkejut. Gengsi mengakuinya.

"Emangnya kamu denger dan lihat sendiri? Nggak kan? Percaya banget sih sama omongan orang lain!" balas Eriska ketus.

"Nggak dengerlah. Tapi, aku tahu, kamu pasti nangis." ledek Alfian lagi.

Eriska mendengus sebal. "Kata siapa?"

"Daffa. Tapi, bersyukur deh, Daffa nyeritain semuanya ke aku. Kan aku jadi tahu, kalo kamu sebenernya masih sayang sama aku. Terus, akhirnya kamu nggak gengsi juga nangis depan aku." tambah Alfian.

"Lo sembuh malah makin ngeselin ya!" Eriska gemas.

***

"Ris, lo kenapa sih, daritadi gue manggilin lo dari ujung gerbang sampai koridor, lo baru berhenti!" gerutu Safina tak karuan.

"Udah ah, Fin. Masih pagi udah teriak-teriak!" omel Eriska.

"Kok lo sewot sih? Apaan? Ada masalah apa lagi?"

"Ih, gue tuh sebel!" balas Eriska sambil memukuli lengan Safina gemas.

"Balikan tinggal balikan, Ris. Makanya jangan mutusin cowok kalo nggak siap!" jawab Safina santai.

"Dia nggak peka, Fin! Yakali, gue to the point ngajak balikan, gengsi sih parah." pekik Eriska sebal.

Safina memutar bola matanya. "Gini nih, kalo hati bisa dikalahin sama gengsi. Dikit-dikit kinap sendiri, dikasih saran sama sahabat sendiri juga nggak didengerin."

"Fin, apaan sih, baper banget!" seru Eriska sambil menyusul langkah Safina yang telah meninggalkannya.

God's PlanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang