Alfian Bertindak

206 8 0
                                    

"SUMPAH WOI, GIMANA GUE NGGAK SENENG PAKE BANGET, MALEM-MALEM DIA DATENG KE RUMAH GUE, FIN!" seru Eriska sambil menggoncang-goncangkan tubuh Safina.

"Gila juga ya lo, Ris. Baru seminggu sekolah disini, udah digebet kakel aja. Pake pelet lo ya?" respon Safina menyandai.

Eriska pun spontan menepuk pipi Safina. "Iri aja sih lo!"

Safina meringis sambil mengusap-usap pipinya. "Lagian, dalam waktu beberapa hari aja, lo udah dideketin aja sama kak Fajrin. Lo tahu sendiri lah, Ris, kak Fajrin itu kan pacarable banget. Ganteng, tinggi, pinter, suka olahraga gitu dan bonusnya dia itu kan juga ketua OSIS kita lagi. Duh gila deh, idaman banget doi!"

Eriska tersenyum miring penuh kemenangan lalu mengangkat sebelah alisnya. "Gue setuju banget sih sama omongan lo. Ngomong-ngomong ya, Fin, kalo gue jadian sama kak Fajrin, lo bakal ikut seneng juga kan?"

Safina mengerucutkan bibirnya tanda kecewa. "Kejauhan lo mikirnya! Baru juga diapelin dia sekali, udah mikir jadian aja!"

"Yee, sirik aja lo. Udah ah, gue mau nyari dia dulu ke bawah." ujar Eriska sambil meninggalkan Safina di bangkunya.

***

"Papa bangga sama kamu, Fian."

Alfian menatap Aria dengan tatapan sengit. "Baru sekarang, Pa? Baru sekarang papa bangga sama Fian?"

Aria memundurkan kepalanya saat mendengar respon anaknya. "Papa salah lagi?"

"Menurut Papa gimana?" balas Alfian balik bertanya.

"Papa sedang memuji kamu loh, Fian. Papa marah, salah. Papa diemin kamu, salah. Papa muji kamu, salah juga?" Aria bertanya tanpa merasa bersalah.

"Setelah Fian berhasil dapetin ITB karena jalur prestasi? Setelah Fian berhasil ngebanggain papa lewat basket, bukan lewat fotografi, gitu, Pa?" cecar Alfian sambil melipat kedua tangannya di depan dada.

"Ya, mungkin karena itu juga. Sekarang kamu lihat sendiri kan? Basket, Fian, basket. Basket yang udah membesarkan namamu sampai kamu berhasil meraih ITB dengan jalur prestasi. Mana kata-katamu yang mengatakan bahwa fotografi bisa membuat kamu merasa lebih baik? Mana hasilnya, Fian?" Aria terdengar seperti merendahkan.

Alfian mulai tersulut emosi. Ia ingin sekali menonjok pria tua di hadapannya ini karena perkataannya yang telah memancing emosi. Namun, Alfian sadar, pria itu tetaplah ayahnya.

"Papa yakin kamu pasti bisa lebih hebat daripada Papa. Tapi, kalau takdir berkata lain, mungkin setidaknya kamu bisa menjadi kepala sekolah seperti Papa. Itu hal yang bagus kan?" Aria melambungkan pertanyaan lagi. Yang justru semakin membuat Alfian kesal.

"Kenapa Papa selalu ngeharapin Fian untuk jadi kepala sekolah kayak Papa?" balas Alfian sambil memutar tubuhnya, memunggungi Pak Aria.

"Itu kan pekerjaan yang bagus, Fian. Kenapa kamu selalu saja tidak setuju kalo Papa mengharapkan kamu jadi kepala sekolah?"

"Kenapa bukan Katya aja yang Papa harapin jadi kepala sekolah? Apa bedanya Fian sama Katya, Pa?" Alfian menaikkan nada bicaranya, tanda mulai terpancing emosi.

"Karena Papa nggak mau kamu jadi nahkoda, Fian." jawab Aria dengan cepat.

Alfian benar-benar emosi. Nahkoda.

God's PlanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang