Restu

116 5 0
                                    

Eriska menghirup udara sore yang tetap terasa begitu sejuk di kebun teh saat ini. Matanya terpejam, menikmati setiap pergerakan angin yang menyentuh kulitnya. Pikirannya ia buat relaks, tanpa memikirkan beban apapun. Ia harus relaks.

Crakk crakk crakk

Ada suara langkah kaki dari belakang tempatnya berdiri sekarang. Namun, Eriska seolah tidak peduli dan enggan menolehkan kepalanya. Mungkin itu hanya orang asing.

"Eriska..."

Si pemilik langkah itu ternyata memanggilnya. Iya, Eriska dipanggil.

"Aku disini. Ini Alfi,"

Eriska benar-benar mengenali suara itu. Ini seperti halusinasi.

"Aku pulang. Spasi di antara kita udah cukup. Kita harus kembali," suara beratnya benar-benar membuat Eriska membeku di tempat.

Eriska sungguh tidak bergeming. Ia harus mengontrol semuanya. Ia takut rapuh. Si pemilik langkah itu pun mendekati Eriska dan kini sudah berdiri bersebelahan dengan Eriska.

Alfian harus kuat juga. Ia ingin sekali melirik wajah Eriska.

"Kamu bilang, semuanya cuma lima tahun. Tapi, kemana kamu selama tujuh tahun ini?" Eriska tiba-tiba bersuara dan bertanya.

Alfian langsung menolehkan kepalanya. Ia kini bisa melihat wajah dewasa Eriska. Rambutnya yang panjang selengan dan kini sedikit ikal di ujungnya, pipinya yang sedikit menirus yang membuat hidungnya semakin terlihat mancung, juga bibir mungilnya yang sekarang menggunakan lipstick warna merah gelap.

"Kamu makin cantik," puji Alfian seketika.

Eriska kembali bungkam. Pujian dari Alfian tidak mampu meluluhkan hatinya.

"Kamu makin cantik," Alfian mengulangi. "Sangat cantik," tambah Alfian.

"Kamu bikin aku nunggu, Al." ucap Eriska tiba-tiba. "Kamu biarin aku sendirian,"

Alfian seperti tercekat. Apa maksud Eriska?

"Havana kemana di saat kamu sedih?" tanya Alfian serius.

Eriska menggelengkan kepalanya. "Sehadir-hadirnya Havana di samping aku, yang aku harapkan itu cuma kamu, Al." suara Eriska mulai bergetar. Haru. "Tujuh tahun semuanya, Al."

Alfian tahu. Gadis ini butuh dekapan. Ia pun langsung memeluk Eriska begitu erat lalu terisak.

"Maafin aku, Ris. Semuanya salah aku, aku yang ngingkarin janji sama kamu. Aku terlalu sibuk menata masa depan aku sampai aku lupa, lima tahun itu udah berakhir." kata Alfian sambil terisak haru.

Air mata Eriska bahkan telah mengalir deras di dalam dekapan Alfian. Tuhan baik pada kedua insan ini.

"Jadi istriku ya, Eriska." bisik Alfian.

***

"Kak Dika meninggal satu tahun yang lalu. Aku sedih banget, Al." ujar Eriska kepada Alfian.

Alfian terkejut bukan main ketika mendengar kabar tersebut. "Meninggal kenapa?"

"Mobilnya kecelakaan dan masuk ke jurang," jawab Eriska tak kuasa menutupi kesedihannya. "Disitu, aku butuh kamu banget."

Alfian paham. Ia terlalu kejam. Seharusnya ia tidak membiarkan Eriska bersedih sendirian.

"Kakak kamu--" ucapan Alfian terpotong.

"Kak Dika dimakamin di satu komplek yang sama kayak Papa kamu, Al."

"Setelah kamu selesai liburan, kita ziarah bareng ya?" tawar Alfian.

***

Hari yang dinantikan Eriska pun tiba. Hari ini ia akan berziarah bersama dengan Alfian. Sebelum menuju ke pemakaman, Alfian mengajak Eriska untuk membeli bunga terlebih dahulu ke sebuah toko bunga. Usai membeli bunga, keduanya langsung menuju pemakaman. Alfian menggandeng tangan Eriska, menuntunnya menyusuri nisan-nisan yang tertata rapi di pekarangan pemakaman ini.

Keduanya pun akhirnya tiba di sebuah makam yang telah dinisan rapi. Makam Aria Nugraha.

"Papa, ini Fian." ucap Alfian sambil membelai lembut bagian kepala batu nisan tersebut.

"Eriska, Pak. Masih inget saya kan, Pak?" Eriska ikut menimpali.

"Papa pasti inget dong sama kamu. Masa murid secantik kamu dilupain," goda Alfian.

Eriska terkekeh. "Pak, bapak pasti udah ketemu kan sama kakak saya di surga?" tanya Eriska kembali melembut.

Alfian tersenyum tipis mendengar pertanyaan Eriska. Tangan kirinya bergerak, meraih tangan kanan Eriska yang sedang mengusap nisan ayahnya. Lalu, Alfian menggenggam tangan Eriska dengan erat.

"Pa, Fian minta doa dan restunya dari Papa ya. Kemarin, Fian udah melamar Eriska dan Eriska bersedia untuk jadi pendamping hidupnya Fian. Alfian berharap banget, Papa berkenan ngedoain dan ngerestuin hubungan Fian sama Eriska. Doain Fian ya, Pa, semoga semuanya dilancarkan sampai hari H. Fian udah cukup dewasa dan udah pantas menjadi seorang suami yang selalu mencukupi. Fian udah kerja di sebuah perusahaan besar dan udah nyiapin sebuah rumah di Bali. Fian udah pantas kan, Pa?" tanya Alfian sungguh-sungguh. "Fian juga minta maaf ya, Pa. Fian terlambat bikin Papa bangga. Fian baru sukses di saat Papa udah pergi. Fian sadar Fian salah, Pa." Alfian pun mulai tersedu, tak dapat membendung air matanya.

Eriska mempersempit jaraknya dengan Alfian kemudian mengusap punggung laki-laki itu, seperti memberi efek tenang. "Al..."

"Fian minta maaf, Pa. Fian minta maaf, Pa." isak Alfian sambil memeluk nisan Aria. "Tanpa Papa, mungkin Fian nggak bisa berada di titik setinggi ini, Pa. Fian emang pernah keterlaluan sama Papa. Fian jadi benar-benar menyesal, Pa." air mata Alfian semakin berderai.

"Pak, ini anak bapak. Ini Alfian Nanditto Nugraha, yang selalu bapak didik dengan keras. Alfian sekarang udah sukses, Pak. Bahkan, Alfian berhasil membawa nama baik Indonesia sampai ke kancah dunia. Alfian berhasil menjadi seorang designer yang dibutuhkan dunia, Pak. Itu semua karena didikan dan doa dari bapak. Bapak berhasil menjadi ayah yang hebat dalam menyukseskan anaknya, Pak." ucap Eriska ikut membesarkan hati Alfian. "Sekarang, Alfian sudah menjadi tunangan saya, calon suami saya. Saya dan Alfian disini memohon doa dan restunya dari bapak. Restu dari seorang ayah itu sangat diperlukan bagi anaknya yang akan membangun keluarga. Harapan saya, semoga bapak merestui hubungan kami berdua. Jika bapak mengizinkan hubungan saya dengan Alfian, bantu kami berdua agar semuanya lancar sampai hari yang ditentukan ya, Pak." ucap Eriska yang kini juga sudah terisak. Suasana sungguh menjadi haru.

Angin sore yang menemani keduanya pun berhembus lembut. Seperti membantu menyejukkan hati kedua insan ini. Seperti pertanda bahwa Aria telah merestui mereka.

"Kita tabur bunga terus berdoa bersama ya, Ris." ajak Alfian.

***

Eriska berjongkok di samping sebuah makam yang memilik nisan bertuliskan nama 'Andika Putra Fadillah'. Ia tersenyum tipis lalu membelai nisan itu.

"Bang Dika... Eris dateng nih sama Alfian," ucap Eriska perlahan. "Eris udah gede ya, Bang? Kesini bawa calon suami," jahil Eriska.

Alfian tahu, Eriska sedang berusaha menghibur dirinya sendiri. "Abang apa kabar?" tanya Eriska. "Bang, sebentar lagi, Eris akan menikah sama Alfian. Gue mohon doa dan restunya ya, Bang."

God's PlanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang