Sesuka Alfian

200 8 0
                                    

"Bang, nanti kalo lo kuliah di Bandung, Katya ikut ya." ujar Katya sambil memetik gitarnya.

Walaupun perempuan dan masih berusia 12 belas tahun, Katya sangat mahir bermain gitar. Itu semua berkat Alfian yang senantiasa mengajarinya bermain gitar.

"Ngapain? Lo disini aja lah sama Papa. Lagian nanti kalo di Bandung, gue mau nyari kost putra aja." sahut Alfian sambil sibuk memainkan ponselnya.

"Nggak asyik ah sama Papa mulu. Papa kan sibuk banget, Bang. Mau jalan-jalan seminggu sekali aja, belom tentu bisa. Kalo nggak sama lo, mungkin gue juga nggak bakalan tahu isi mall-mall di Jakarta, Bang." jawab Katya sambil terus memainkan gitarnya.

Alfian menghela napasnya panjang. "Kat, lo penasaran banget nggak sih Mama ada dimana?"

Katya terus menggenjreng gitarnya sambil sedikit bersenandung. "Emangnya kenapa, Bang?"

"Lo nggak mau ketemu sama Mama?" tanya Alfian lagi.

"Ya mau sih. Apalagi gue kan belom pernah lihat muka Mama selama ini. Mama cantik nggak sih, Bang?" balas Katya dengan bertanya.

Alfian menganggukkan kepalanya. "Cantik kok. Hidungnya mancung kayak gue. Bibirnya tipis kayak lo, Kat. Dia tuh baik banget. Dia yang ngedukung abang jadi nahkoda. Tapi, dia sendiri yang matahin semangat abang setelah abang nemuin cita-cita abang." ujar Alfian sambil mengayunkan tangannya ke dalam kolam renang.

"Matahin semangat lo gimana, Bang?"

"Ya gimana nggak matahin semangat abang, Kat. Dua bulan setelah abang bercita-cita jadi nahkoda, mama pergi gitu aja. Di saat lo masih berusia tiga bulan, Kat. Dan hebatnya, sampai detik ini gue nggak berhasil nemuin Mama. Mungkin aja Mama juga udah lupa kalo dia punya keluarga disini," ujar Alfian sambil menengadahkan kepalanya menatap langit biru malam itu.

Katya mendekatkan tubuhnya ke arah kakak laki-lakinya itu. "Udah pernah lo tanyain ke Papa? Siapa tahu papa tahu dimana keberadaan Mama," tanya Katya.

Alfian menggeleng. "Abang bisa kok nyari Mama sendiri. Cuma Tuhan belum nakdirin abang sama Mama ketemu aja."

Katya menghela napasnya panjang lalu melingkarkan tangannya ke pinggang Alfian. "Lo nggak sendirian kok, Bang. Lo kan punya gue, punya Katya. Gue juga nggak sendirian. Gue kan punya lo, punya Alfian."

Alfian mengulum senyumnya lalu merangkul bahu Katya. "Kalo suatu saat nanti kita berhasil nemuin Mama, apa yang mau lo lakuin pertama kali, Kat?"

"Peluk dan cium Mama. Untuk pertama kalinya, Bang." jawab Katya polos.

Alfian lagi-lagi mengukir senyumnya dan perlahan mendekatkan bibirnya ke kening Katya. Alfian mengambil jeda sejenak sebelum akhirnya mengecup kening adiknya dengan penuh kasih sayang.

***

"Ris, lo udah buat tugas bahasa indonesia?" tanya Alifia ketika mendapati Eriska yang baru datang dengan santainya.

"Teks observasi?" tanya Eriska.

Alifia mengangguk cepat. Berharap Eriska menjawab 'iya'.

"Oh, teks observasi. Udah selesai kok, lo mau minjem?" tawar Eriska sambil meletakkan ranselnya.

"Mau banget dong, Ris. Please ya, ini lagi genting banget. Gue lupa ngerjain semalem," jawab Alifia sambil menempelkan kedua telapak tangannya di depan dada.

Eriska memutar bola matanya lalu mengeluarkan sesuatu dari tasnya. "Nih buku gue. Kalo ada yang nggak jelas tulisannya, tanya Safina aja. Dia pakar aksara gue dari SMP. Gue mau ke bawah dulu ya," pamit Eriska begitu saja.

"Eh, Ris, yakali gue nyalin doang. Sekalian ajarin dong, kalo nggak gitu nanti gue nggak ngerti-ngerti!" pekik Alifia berusaha menahan Eriska.

Namun, Eriska sudah terlanjur keluar dari kelasnya dan pekikan Alifia tak ada gunanya.

***

Eriska mengedarkan pandangannya ke sekitar laboratorium bahasa. Sosok yang ditunggunya tak ada disana. Eriska mengeluarkan ponselnya dan hendak mengetikkan sesuatu disana.

"Sorry, gue telat."

Eriska memutar kepalanya ketika mendengar suara itu.

"Kak Faj-- Lo ngapain mepet-mepet sama kak Fajrin?" Eriska sedikit terkejut ketika mendapati Alfian yang berdiri di belakang Fajrin.

"Gue ini anak kepsek juga pengurus OSIS. Tugas gue itu mantau keamanan di sekolah. Apalagi kalo yang demen ngajak janjian kayak lo, mana ngajak janjiannya di tempat sepi lagi, gue nggak mau ya sekolah ini masuk koran cuma gara-gara lo genit sama ketua OSIS." tutur Alfian sambil berkacak pinggang.

Eriska berdecak sebal dan kini menatap Fajrin bingung.

"Kak, kenapa kak Alfian bisa ngikutin kakak sampe sini? Aku kan cuma mau ketemu sama kakak." bisik Eriska di telinga Fajrin.

"Gue juga nggak tahu, Ris. Maafin gue ya, Alfian emang nggak bisa dilawan." balas Fajrin dengan bisikan juga tentunya.

"Terus aja lo berdua bisik-bisikkan. Ngomongin gue kan?" sindir Alfian tiba-tiba. Sindirannya itu bahkan sukses membuat Eriska menjauhkan dirinya dalam sekelebat cahaya.

"Gue balik ke kelas deh. Rese, orang mau ngomong empat mata, jadi enam mata sama lo!" tukas Eriska sambil menyenggol lengan Alfian. Sebenarnya, ia inginnya menyenggol bahu Alfian hingga laki-laki itu terhuyung. Namun, sialnya Eriska tercipta lebih pendek daripada Alfian. Sehingga Alfian pun sama sekali tidak terhuyung ketika Eriska menyenggolnya.

"Lo sih, Yan. Takut banget gue ngapa-ngapain sama Eriska," protes Fajrin, terdengar menyalahkan Alfian.

Alfian tersenyum miring lalu menepuk-nepuk bahu Fajrin. "Kalo nggak mau ngapa-ngapain, kenapa kesel pas gue ikutin?"

"Ya tapi kan tetep aja, Yan. Gue mau ngomong privasi sa--"

"Sssstt... Udah, udah, nggak perlu dibahas. Gue mau balik ke kelas, mau belajar." potong Alfian sambil menempelkan telunjuknya di depan mulut Fajrin.

Setelah itu, ia segera membalikkan badannya, meninggalkan Fajrin.

***

"Gue ikut gapapa kan?"

Sumpah. Eriska ingin sekali menampol muka Alfian.

"Lo kan bawa motor, Kak. Ngapain sih mesti numpang-numpang mobil kak Fajrin segala?" cecar Eriska dengan nada tak suka.

"Motor gue ditinggal di sekolah mah juga gapapa kali. Kalo sampe hilang, tinggal salahin satpam yang jaga." balas Alfian dengan santainya.

"Rumah kita kan nggak searah, Yan. Masa gue mesti bolak-balik nganterin lo juga," timpal Fajrin, tanda tak setuju.

"Ya, gapapalah. Lagian baru sekali ini kan gue numpang mobil lo. Pelit amat sih sama temen sendiri," Alfian masih tetap bersikukuh.

"Oke. Kak, kamu anterin dia pulang sampe rumahnya. Biar aku pulang naik taksi." ujar Eriska kepada Fajrin. Ia pun segera mempercepat langkahnya menuju luar gerbang sekolah. Namun, belum sampai di gerbang sekolah, Alfian menahannya.

Eriska berusaha melepaskan cekalan tangan Alfian dan menatap Alfian dengan tatapan menantang.

God's PlanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang