Menjauh Demi Kebaikan

123 5 1
                                    

Dua minggu sebelum Ujian Nasional...

"Eriska," panggil Aria yang baru saja keluar dari ruangannya.

"Um..., selamat pagi, Pak Aria." sapa Eriska sambil mencium tangan Aria.

"Bisa ikut saya sebentar ke ruangan?"

"Ada perlu apa ya, Pak?" tanya Eriska bingung.

"Ada sedikit hal yang mau saya bicarakan dengan kamu. Kamu punya waktu kan?" tanya Aria memastikan.

"Bisa kok, Pak. Penting sekali ya, Pak?"

"Cukup penting sih. Ya sudah, mari kita ke ruangan." ajak Aria sambil menuntun Eriska ke ruangannya.

Sesampainya di dalam ruang kepala sekolah, Eriska segera duduk di sebuah sofa panjang dan menatap kepala sekolahnya itu dengan tatapan penasaran.

"Saya tahu kamu sedang menjalin hubungan dengan anak saya, Alfian, bukan?" Aria mulai bertanya.

"Betul, Pak. Saya memang sudah enam bulan berpacaran dengan kak Alfian." jawab Eriska sesopan mungkin.

"Dan kamu tahu kan, kalau dua minggu lagi, Ujian Nasional akan berlangsung?"

Eriska meneguk salivanya. "Iya, saya tahu, Pak."

"Saya ingin meminta kerja sama kamu. Bisakah?"

"Kerja sama apa ya, Pak? Apa yang bisa saya bantu?" tanya Eriska lagi.

"Begini, sebetulnya saya paham mungkin ini berat bagi kamu. Tapi, saya menginginkan yang terbaik untuk Alfian. Saya ingin dia konsentrasi saat menghadapi Ujian Nasional," ujar Aria berhati-hati.

Eriska sepertinya mulai bisa menerka-nerka maksud perkataan Aria. "Lalu, Pak?"

"Bisakah kamu... kamu memutuskan hubungan kamu dengan Alfian?" tanya Aria langsung.

Eriska merasa ada yang menyumbat tenggorokannya. Ia seperti tak bisa berkata-kata.

"Bukan untuk sementara, tapi untuk selamanya. Saya ingin, setelah kamu memutuskan hubunganmu dengan Alfian secepatnya, kemudian Alfian menjalankan Ujian Nasional nya dengan baik, kamu tidak lagi berhubungan dengan Alfian ke depannya. Karena saya yakin, kamu pasti sudah tahu kan kalau Alfian akan kuliah di ITB, di Bandung. Dan saya tidak yakin, kalau kamu dan anak saya bisa menjalin hubungan jarak jauh." tutur Aria menjelaskan.

"Kenapa harus begitu, Pak?" Eriska terdengar setengah memprotes.

"Karena saya menginginkan yang terbaik untuk Alfian, Nak."

"Saya bisa tidak menganggu kak Alfian selama Ujian Nasional." bela Eriska.

"Saya sudah bilang kan, Eriska, ini untuk selama--"

"Menurut saya, saya dan kak Alfian sanggup untuk menjalin hubungan jarak jauh, Pak." Eriska masih terdengar memperjuangkan.

"Tapi, saya ingin Alfian melupakan segalanya setelah ia tinggal di Bandung. Saya ingin dia menjadi anak yang membanggakan kedua orang tuanya. Saya ingin melihat Alfian menjadi sarjana muda." ucap Aria dengan tegas.

"Tapi, Pak, saya yakin saya bisa menjadi pacar yang baik untuk kak Alfian. Saya janji, Pak."

"Maaf, Eriska, saya tidak ingin mendengar penolakan dari kamu. Saya mohon, jika kamu memang sayang sama Alfian, tolong putuskan dia. Ini semua juga demi masa depannya," Aria terdengar memohon.

Eriska memejamkan matanya. Setiap oksigen yang tersedia di ruangan itu rasanya seperti tersedot habis dan mampu membuatnya sulit bernapas.

"Pak Aria, saya janji, Pak, saya bisa menjadi penyemangatnya kak Alfian. Saya juga akan belajar memahami kondisi dan berusaha sebisa mungkin untuk tidak mengganggu kuliahnya." Eriska mengiba.

Aria masih teguh dalam keputusannya. Hatinya sama sekali tidak terketuk untuk memberi Aulia kesempatan. "Maaf, Eriska, saya mohon putuskan hubunganmu dengan anak saya sekarang juga, secepatnya. Saya sudah tidak punya cara lain lagi untuk mengubah Alfian menjadi lebih baik ke depannya."

Eriska tak kuasa menahan air matanya lagi. Setetes air bening itu pun menetes dari ujung mata Eriska. Perih.

"Baik, Pak. Kalau itu adalah kemauan bapak demi kebaikan kak Alfian di masa depan, saya akan lakukan apa yang bapak mau. Saya akan sudahi hubungan saya dalam waktu dekat ini. Terima kasih, Pak, telah memberi saya kesempatan untuk singgah di hati putera bapak." kata Eriska dengan suara bergetar.

Aria menundukkan kepalanya. Sebenarnya ada rasa bersalah yang menyelimuti Aria.

"Saya permisi dulu, Pak. Terima kasih juga untuk waktunya," pamit Eriska sambil segera berlalu dari ruang kerja Aria.

***

"Eriska!" panggil Alfian dengan suara keras.

Eriska yang mendengar namanya dipanggil, justru semakin mempercepat langkahnya. Namun, Alfian berusaha menyusulnya.

"Kamu kenapa sih?" tanya Alfian ketika berhasil memotong jalan Eriska.

"Minggir, Alfi, gue mau pulang." balas Eriska sambil berusaha menyingkirkan tubuh Alfian yang berdiri di hadapannya.

"Apa? Kamu ngomong 'gue' ? Aku nggak salah denger?" Alfian heran.

"Udah ya, Al, mulai sekarang kita ngomongnya pake 'lo-gue' aja kayak dulu. Nggak perlu deh, kita ngomong aku-kamu segala. Lebay, gue nggak suka!" tolak Eriska emosi.

"Aku tetap mau ngomong pake aku-kamu sama kamu. Please, kalo kamu emang marah sama aku, bilang aja, Ris. Jangan tiba-tiba ngambek nggak jelas gini, aku nggak paham, Eriska." mohon Alfian.

Eriska berdecak. "Nggak ada yang marah sama lo. Udah, minggir, gue mau pulang."

"Aku nggak ngizinin kamu pulang sendiri. Kamu itu sekarang tanggung jawab aku, Eriska." Alfian menahan lengan Eriska.

Eriska mulai tidak sabar. Ia mendelikkan matanya pada Alfian. "Orang tua gue aja nggak pernah ngelarang gue untuk pulang sendiri. Bahkan, jauh sebelum gue pacaran sama lo, gue selalu pulang sendiri. Jadi, jangan mentang-mentang lo itu pacar gue, makanya lo berhak ngelarang gue ini dan itu. Dan satu hal lagi, lo nggak bertanggung jawab apapun atas gue. Karena kita itu cuma pacaran dan nggak akan pernah lebih. Jadi, tolong hapus kata ERISKA-ADALAH-TANGGUNG-JAWAB-GUE dari pikiran lo!"

"Aku mesti tahu kenapa kamu mendadak jadi kayak gini, Ris." cegah Alfian lagi sambil menahan lengan Eriska.

"Lepasin gue, Alfi. Gue mau pulang!" paksa Eriska setengah meronta.

"Kamu aneh, kamu berubah tanpa aku tahu apa alasannya!" ujar Alfian mulai emosi.

"Kalo lo mau tahu jawabannya, gue bakal jelasin. Tapi,nggak untuk sekarang, gue bakal jelasin setelah lo selesai UN!" jawab Eriska kesal.

Alfian refleks melepaskan cengkeraman tangannya dari lengan Eriska dan dalam kesempatan tersebut, Eriska langsung melangkah meninggalkan Alfian.

***

"Tumben kamu berangkat sekolahnya cepet?" tanya Fika sambil menuangkan susu cair ke sebuah gelas kaca.

"Alfian udah nggak jemput aku lagi, Ma. Jadi, mulai sekarang aku harus berangkat sekolah naik angkot lagi kayak dulu." jawab Eriska dengan jelas.

"Loh? Kamu putus sama Alfian?" sahut Cahyo.

"Iya."

"Kenapa, Ris?" Fika mulai penasaran.

"Ceritanya panjang, Ma. Kapan-kapan aja ya aku ceritainnya,"

God's PlanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang