Yenaa sedang duduk dikursi didalam ruangan bertuliskan RUANG KEPALA SEKOLAH. Sambil menunggu kedatangan kepsek yang menurutnya sangat lama, ia pun memainkan kakinya, menghentak-hentakan atau menendang-nendang pelan ke meja yang berada didepannya.
Bosan. Ia sangat bosan dengan situasi ini. Diedarkan pandangannya menuju penjuru ruangan yang tampak luas itu. Banyak tersusun buku-buku di lemari dengan rapi.
Ruangan ini memang dingin dan sejuk, tapi sunyi sekali. Sebenarnya dimana kepala sekolahnya itu berada?
Yenaa benar-benar bosan menunggu. Sudah lima belas menit ia terjebak dalam ruangan ini. Bahkan bel masuk pun sudah berbunyi sedari tadi. Tapi, ia masih saja duduk manis dikursi singgahsananya.
Diliriknya jam yang melingkar dipergelangan tangannya sudah menunjukan pukul tujuh lewat dua puluh menit.
Yenaa terus menggerutu kesal, sumpah serapah pun tak luput dilakukannya bahkan kebun binatang semuanya keluar. Ia memang tomboy dan berbicara pun selalu blak-blakan tapi jika disuruh menunggu, ia paling malas. Bahkan paling benci menunggu.
Sesekali Yenaa memainkan sepatunya dibawah sana. Melilitkan kakinya berulang ataupun menggoyangkan kedepan lalu kebelakang.
Sampai suara dehaman membuatnya mendongakan kepala. Dilihatnya pria paruh baya yang sedang menatapnya intens.
Yenaa pun menegakkan duduknya lalu menatap pria yang diyakini adalah kepala sekolahnya. Pria itu terlihat sangat rapi dengan setelan kemeja berdasi itu.
Yenaa masih menatap lekat kepala sekolahnya itu. Terlihat kepalanya yang hampir botak habis dan juga kumis ikan lele nya membuatnya ingin sekali tertawa keras. Namun ia hanya menahan tawanya itu.
"Awkana Yenaa?" suara bariton itu terdengar pelan namun sangat tegas. Pak Bimo menatap Yenaa dengan pandangan yang seakan menyelidik.
Sedang Yenaa mengeryit menatap Pak Bimo yang menatapnya begitu dalam. Ia pun berdeham pelan sekedar mencairkan suasana.
"Ehm. Iya pak."
Pak Bimo lalu duduk dibangku singgahsananya yang terlihat sangat empuk itu. Ia menyandarkan tubuhnya pada penyangga kursi dan memainkan jarinya seakan sedang berpikir keras.
"Kamu anak baru itu?" tanyanya.
Yenaa mengangguk pelan, "Iya, Pak."
Dilihat Pak Bimo manggut-manggut masih menatap Yenaa. "Kamu masuk kelas 11 IPS 3."
Yenaa mengangguk, "Baik, Pak. Kalau begitu, saya permisi."
Baru saja Yenaa hendak bangkit dari duduknya, suara Pak Bimo kembali terdengar.
"Jadi kamu yang bertengkar di koridor sekolah dengan Reynald?" tanyanya tegas.
Yenaa mendudukan kembali bokongnya lalu menatap Pak Bimo bingung. "Bapak tahu?"
"Iya, saya tahu." ujarnya mengangguk. "Kamu orang pertama yang berani melawan anak nakal itu." sambungnya.
Yenaa malah semakin bingung dibuatnya. Apa maksud dari ucapan Pak Bimo barusan? Apa ia memuji atau menyudutkan?
"Kalau boleh tahu, apa hubungannya dengan saya?" tanya Yenaa heran menatap Pak Bimo penuh tanya.
Pak Bimo berdeham singkat sebelum menjawab pertanyaan Yenaa yang menantinya sedari tadi. "Tidak ada hubungannya. Tapi saya harap, kamu tidak akan berbuat masalah dan bisa membuat Reynald menjadi lebih baik lagi."
Yenaa terhenyak mendengarnya. Apa dia bilang? Membuat Reynald menjadi lebih baik? Ah! Bahkan cowok galak itu sangat tidak pantas disebut baik. Cowok itu lebih pantas dibilang kasar! Iya, kasar! Ia hanya berani dengan yang lemah, pecundang!
KAMU SEDANG MEMBACA
HARDEST CHOICE [Complete]
Teen Fiction( harap follow lebih dulu, biasakan apresiasikan karya seseorang ) Hidup memang sulit sekali ditebak. Tidak bisa selalu beriringan dengan takdir dan semesta. Kadang, yang kau anggap mampu membuat senang justru yang membuatmu terluka. Begitu juga de...