Reynald duduk di atas meja belajar Bisma. Mereka berdua sedang berada di dalam kamar Bisma, dengan pintu yang dikunci rapat serta keadaan kamar yang sepi. Bisma sendiri hanya diam duduk di pinggir kasur dan menatap datar Reynald. Ia sendiri tidak tahu kenapa Reynald mengajaknya berbicara.
"Sejak kapan?"
"Sebulan yang lalu," balas Bisma menghela napas pelan.
"Kenapa gak bilang?" Lirih Reynald. Cowok itu menunduk, memeras rambutnya sendiri. Setelah sekian lama tidak bertemu, akhirnya ia kembali dipertemukan dengan Naina, gadis yang selama ini memenuhi isi kepala dan hatinya.
Bisma menatap lekat Reynald, cowok itu masih menunduk. Bisma menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan, "Sorry."
"Gue gak perlu kata maaf lo," Reynald melirik Bisma sinis. "Gue cuma mau lo bilang ke gue, kenapa lo diem aja selama ini?"
"Lo yang gak mau denger gue, Reyn."
"Lo gak pernah cerita." Ketus Reynald.
"Gimana gue mau cerita, lo aja gak bisa gue sentuh." Sahut Bisma memalingkan wajahnya. Mereka seperti dua gadis yang sedang dilema berat.
"Jadi, semuanya salah gue?" Reynald berkata sinis. Cowok itu tidak habis pikir dengan semesta yang selalu menguji kesabarannya.
"Bukan," Bisma menyeletuk tidak senang. Dia tidak suka jika Reynald menyalahkan dirinya sendiri. Sebab yang salah di sini bukan hanya cowok itu saja. "Kita semua salah. Bukan cuma lo doang."
"Kenapa Naina bisa di Jakarta lagi? Setelah kepergian dia, dengan mudahnya cewek itu nampakin diri." Reynald tidak habis pikir. Dia kembali diterjang oleh masa lalu yang terus menghantuinya. Tidak Naina, tidak Raina.
"Itu hak dia." Bisma melirik Reynald sejenak. Bisma mengembuskan napas berat, sepertinya Reynald masih belum bisa menerima semuanya. "Dia nggak salah, Reyn. Lo gak bisa nyalahin dia."
"Tapi mereka semua pergi ninggalin gue!" Jerit Reynald frustasi. "Lo tau sendiri, selama ini gue berusaha buat lupa sama mereka. Kenapa mereka dengan mudahnya balik lagi ke hidup gue? Setelah hancurnya gue, Raina dengan mudah balik dan bilang nyesel. Setelah itu, Naina balik lagi. Kenapa?"
Bisma mendongak, menatap lirih Reynald yang sangat frustasi. Cowok itu terus meremas rambutnya yang tidak bersalah. Sesekali helaan napas berat keluar dari dirinya. Bisma menduga, semua itu sulit untuk diterima.
"Lo cuma harus menerima."
"Nerima apalagi sih anjir?!" Pekik Reynald kesal. Bisa-bisanya saudaranya ini terus menghujam dirinya dengan perkataan tidak masuk akal itu. Bukannya menyemangati, cowok itu malah dipojokkan. "Kurang apa gue selama ini?! Mereka bikin gue hancur, gue gak bales. Mereka bikin gue kayak gini, gue gak bales. Apalagi yang harus gue terima hah?! Kasih tau gue anjing!"
"Lo selalu melimpahkan semua itu ke gue. Apa lo gak sadar? Lo selalu lari dari semuanya."
"DIEM!!!" Reynald meninju meja yang jadi tempatnya duduk. Ia begitu kesal. Kenapa tidak ada yang memihak padanya. Kenapa mereka semua malah menyalahkan dirinya yang sebenarnya adalah korban.
"Bukan cuma lo yang jadi korban. Gue juga. Bahkan, lo gak pernah sadar. Lo gak pernah tau, sedalam apa lo udah bikin gue hancur melebihi semua yang lo rasa. Lo nggak pernah tau, seberapa gue nanggung semua luka yang harusnya nimpa lo. Lo nggak pernah tau, seberapa gue mencoba bertahan di atas semua lara yang udah Lo toreh. Yang lo tau, gue di sini salah. Gue yang jadi tersangka dan Lo korban. Padahal, kita sama-sama korban. Kita yang udah ngorbanin diri sendiri buat mencoba bahagia. Meski kita sendiri sadar, bukan bahagia yang kita dapat, tapi luka."
KAMU SEDANG MEMBACA
HARDEST CHOICE [Complete]
Teen Fiction( harap follow lebih dulu, biasakan apresiasikan karya seseorang ) Hidup memang sulit sekali ditebak. Tidak bisa selalu beriringan dengan takdir dan semesta. Kadang, yang kau anggap mampu membuat senang justru yang membuatmu terluka. Begitu juga de...