Ada kah yang kangen sama Reyn? Atau Bisma? Atau yang lain?
Kalau ada, selamat!
Kalian bisa melanjutkan membaca bagian yang sempat terhenti.
Happy reading~
•••••
Krekkk ...
Sial.
Siapa yang meletakkan pulpen satu pack di deket pintu? Reyn mendesis kesal. Sebab pulpen itu patah diinjaknya dan menimbulkan suara di kesunyian. Niat hati mau masuk ke kamar dia malah membuat situasi mencekam.
"Siapa itu?"
Sial. Sial. Sial.
Reyn merutuki dirinya sendiri. Kenapa dia bisa seceroboh ini sih? Lagian siapa sih yang meletakkan pulpen di dekat pintu? Kurang kerjaan banget.
"Gue," balas Reyn pelan.
Terdengar suara langkah yang semakin dekat padanya. Suara itu saling beradu dengan cepat. Reyn ketar-ketir, dia tidak mau Bisma memghampiri dan menemui dirinya di sini. Bisa berantakan.
"Reyn?" lirihnya.
Sial. Sial.
Lagi, Reyn merutuki dirinya sendiri. Dirinya sudah ditemukan dan dia sama sekali tidak bisa menghindar. Reyn berbalik, menatap dua orang di depannya. Dengan wajah dingin tak tersentuh, dia menatap tajam Bisma.
"Apa?!"
"Lo ... kenapa bisa di sini?"
"Bukan urusan lo."
"Tapi ... Tapi, tapi gue nyariin lo." Bisma mengembuskan napas berat. "Lo kenapa sih kabur segala? Nggak betah? Tinggal bilang. Nggak perlu kabur kayak bocah."
"Terserah gue," ketus Reyn. "Yang bocah juga gue. Apa masalahnya buat lo?"
Bisma mengerjap, tubuhnya menegang. Apa yang Reyn katakan sebenarnya tidak perlu mendapat jawaban. Dia sadar kalau yang Reyn maksud adalah hidupnya. Apa masalahnya kalau Reyn sampai kabur dari rumah sakit?
"Pulang, Reyn."
"Nggak."
"Pulang,"
"Nggak!" sentak Reyn.
Bisma terkejut begitu pun Yenaa. Mereka tidak menyangka bahwa Reyn senekad itu untuk pergi.
"Lo nggak khawatir sama orang rumah?" celetuk Yenaa. Dia memandang Reyn yang terus menatap tajam. Tatapannya menghunus tepat di dada. Sesak. "Nggak khawatir juga sama orang-orang yang udah rela buang waktu cuma buat nyari lo?"
"Gue nggak minta dicari." sindirnya mendesis keras. "Nggak ada yang nyuruh mereka buat nemuin gue di mana pun gue berada. Bukan salah gue kalo mereka sampe khawarir. Gue nggak minta dikhawatirkan."
"Tapi Reyn ..."
"Nggak ada tapi-tapian!" bentak Reyn. Kedua tangannya mengepal keras, dia tidak suka dikasihani. Meski pun lagi sakit, dia tidak suka orang lain sok merasa paling peduli padanya. "Gue benci orang-orang."
Reyn masuk kamar dan menutup pintu sedikit keras. Suaranya terdengar mengerikan. Untung saja suara bising tersebut tidak membuat orang tua Yenaa terbangun. Kalau sampai terbangun, bisa bingung dia menjelaskannya.
Yenaa melirik Bisma yang menunduk dalam. Keadaannya tidak membaik. Kedua tangannya mengepal penuh kesal. Tapi tidak ada yang bisa dilakukan selain berusaha. Yenaa tahu gimana rasanya jadi Bisma. Pasti sakit sekali.
KAMU SEDANG MEMBACA
HARDEST CHOICE [Complete]
Teen Fiction( harap follow lebih dulu, biasakan apresiasikan karya seseorang ) Hidup memang sulit sekali ditebak. Tidak bisa selalu beriringan dengan takdir dan semesta. Kadang, yang kau anggap mampu membuat senang justru yang membuatmu terluka. Begitu juga de...