Part 2 : Tangisan Bisu

29K 612 44
                                    

Seminggu setelah aku putus dari Miranda, hari-hariku penuh dengan kegalauan. Aku seperti rembulan yang tanpa sinar, redup dan tak bergairah. Meskipun aku berusaha untuk ikhlas menjalani kenyataan ini, aku masih belum bisa move on sepenuhnya. Baik di tempat kerja maupun di kost-an, aku merasa dalam kesuraman yang hakiki.

Aku masih saja merasa kesepian di tengah keramaian. Aku seolah berjalan tanpa tujuan dan bergerak tanpa arah. Aku seperti makhluk zombie, hidup tapi terasa mati. Jiwaku hampa, pikiranku kosong dan auraku bolong-bolong. Betapa payahnya aku ini, mengabaikan diriku sendiri hanya karena seorang wanita. Hmmm ... aku harus berubah. Aku pasti bisa! Tapi berawal dari mana?

''Es Kepal Milo-nya, Mas!'' suara pelayan perempuan di gerai minuman ini membuyarkan semua pikiranku yang kacau.

''Es Kepal Milo-nya, Mas!'' suara pelayan perempuan di gerai minuman ini membuyarkan semua pikiranku yang kacau

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

''Iya, Mbak, terima kasih!'' kataku sembari menerima minuman kekinian dari tangan pelayan perempuan itu. ''Berapa ini?'' tanyaku berlanjut.

''Satu dollar,'' jawab perempuan bergincu merah jambu ini enteng.

''Hah?'' Aku mengkerutkan keningku.

Perempuan berseragam kaos warna merah ini tersenyum simpul.

''Maksudmu Satu Dollar Amerika?''

''Iya, Mas!''

''Hei, kita masih di Indonesia, bukan di Amerika!''

''Hahaha ... '' Perempuan ini tertawa ngakak, benar-benar menyebalkan.

''Maaf, Mas, bercanda,'' ujar dia buru-buru, ''harga Es Kepal Milo ini Lima Belas Ribu Rupiah,'' lanjutnya.

Aku tidak bereaksi lagi, aku langsung memberikan uang sejumlah yang dia sebutkan kemudian aku pergi meninggalkannya.

''Terima kasih, Mas!'' kata dia, tetapi aku tidak menanggapinya.

Entahlah, mengapa tiba-tiba aku merasa setiap makhluk berjenis kelamin perempuan itu sangat menyebalkan. Makhluk jahat yang harus aku jauhi. Spesies yang garing dan memuakan. Aku membenci mereka semua, kecuali ibuku. Hanya beliaulah yang paling mengerti aku. Namun sayangnya hingga kini aku belum bisa mendapatkan wanita yang seperti Ibu. __Oh, Ibu, aku jadi kangen engkau. Apa kabarnya engkau di sana? Apa engkau baik-baik saja? Aku harap seperti itu, tidak seperti aku yang kini sedang lara, ditinggal pacar yang akan menikah.

Ah, brengsek!

Tanpa aku sadari, aku membanting Es Kepal Milo yang barusan kubeli. Mangkuk berserta isinya yang penuh dengan cream dan lelehan susu kental manis itu berceceran di jalanan.

Ada apa dengan diriku ini, mengapa aku jadi begini? Mengapa aku berada dalam ilusi yang penuh dengan halusinasi dan dicekram oleh rasa kebencian yang terlalu mendarah daging? Aku tidak dapat mengontrol emosiku dan terbawa arus fatamorgana yang menghantui setiap langkahku.

''Hei, kamu baik-baik saja?'' kata seseorang yang entah dari mana asalnya, tiba-tiba menghampiri aku dan mengusap pundakku.

''Lepasin!'' seruku sembari menghempaskan tangan orang itu, ketika aku menyadari bahwa tangan halus itu milik seorang perempuan.

''Jangan sentuh aku!'' lanjutku mengancam. Dan perempuan yang tak kukenal itu jadi terbengong keheranan.

''Sorry,'' kata perempuan berkulit putih ini dengan nada yang ketakutan, lalu tanpa banyak tingkah dia langsung ngacir menjauhi aku.

Ya, Tuhan, apalagi ini ... mengapa aku menghardik wanita yang tak berdosa itu. Apakah aku sudah gila?

Akkkhh ... tidak!

Aku meremas-remas kepalaku dan mengacak-acak rambutku, kemudian dengan rasa kesal aku bergerak cepat menuju ke sebuah toilet umum. Di sana aku langsung mendekati wastafel dan berdiri tegap di depan kaca. Aku memperhatikan seluruh wajahku yang tercermin di kaca itu. Ada raut kusam dan mengerikan. Aku seakan tidak mengenali diriku sendiri. Banyak kerutan di keningku, bola mata yang memerah, lingkaran hitam di kelopak mataku seperti mata panda. Kumis, jambang dan jenggot yang memanjang tak terawat. Sungguh, ini seperti bukan diriku yang biasanya tampil klimis dan percaya diri. Aku benci semua ini!

Buru-buru aku membuka kran dan menampung airnya dengan kedua telapak tanganku. Kemudian dengan cepat aku membasuhkan air ini ke seluruh area mukaku. Berkali-kali, aku melakukan kegiatan ini hingga tanpa sadar aku menitikan air mataku. Aku geram dan kesal, lalu aku berlari menuju ke bilik kamar kecil. Di sini aku melampiaskan tangisanku. Tangisan yang selama ini aku tahan, tangisan yang membuat dadaku terasa sesak. Tangisan seorang laki-laki yang berpura-pura tegar. Dan kini tangisan itu pecah bersama setumpuk rasa galau yang menyelimuti jiwa dan perasaanku sebagai seorang laki-laki yang ditinggal sang kekasih.

 Dan kini tangisan itu pecah bersama setumpuk rasa galau yang menyelimuti jiwa dan perasaanku sebagai seorang laki-laki yang ditinggal sang kekasih

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

''Menangislah, Nak! Bila dengan menangis bisa membuatmu lebih tenang.'' Itu nasihat ibuku pada saat aku sedang menghadapi problematika hidup yang rumit.

Setetes Madu Pria (SMP Babak 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang