Part 45 : Taxi

8.3K 274 13
                                    

Bersama segudang perasaan yang berkecamuk dalam dada, aku pergi meninggalkan kamar hotel yang terdapat di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, tak jauh dari tempat kami berbagi kesenangan dalam menikmati musik yang mampu menggoyang tubuh. Aku membawa setumpuk pikiran yang terlontar dari ucapan Roni. Dari mulutnya itu, aku seperti ditelanjangi dan dikuliti habis-habis. Betapa tidak, aku yang mengira dia tak tahu apa-apa tentang diriku tapi nyatanya dia lebih paham dari diriku sendiri. Aku benar-benar malu dan takut dengan identitasku yang terungkap. Aku yang memiliki perasaan nyeleneh terhadap laki-laki yang bernama Pria. Namun, aku juga tidak bisa mentoliler perbuatan Roni yang seenaknya mencabuli tubuhku. Meskipun aku sudah terjerumus di lembah lumpur yang serupa, tapi aku masih punya harga diri. Entahlah, apakah aku bisa memaafkan Si Bandot atau membiarkan tali persahabatan yang sudah terjalin cukup lama dengannya ini retak begitu saja.

Aaaccckkkhhh ... rasanya aku ingin berteriak, melepas penat yang mengganjal dalam jiwa dan membiarkan penat ini terbang terbawa sapuan angin. Huh ... aku membuang nafas jauh-jauh saat aku berada di sebuah halte bus. Aku masih asing dengan daerah sini. Aku bingung dengan kendaraan apa, aku bisa membawa tubuh lelahku ini pulang ke kost-an. Beberapa saat lamanya aku terdiam sambil berpikir, hingga akhirnya aku memutuskan untuk menghentikan mobil taxi. Aku yakin, aku masih cukup punya uang untuk membayar transportasi mobil sewaan ini.

''Ke Cempaka Putih Barat, Jakarta Pusat, Pak!'' kataku saat aku sudah berada di dalam taxi dan memerintahkan sang sopir untuk segera membawaku ke tempat tujuan.

''Siap, Mas!'' sahut Si Sopir dengan semangat. Lalu tanpa banyak aksi, dia pun langsung melajukan kendaraan dengan kecepatan yang setara mobil balap. Lumayan kencang. Apalagi jalanan pagi ini tidak terlalu padat, karena sudah masuk weekend. Jadi, mobil taxi ini bisa meluncur dengan lancar jaya.

Di tengah laju perjalanan ini, tiba-tiba dering ponselku berbunyi. Aku segera mengambil handphone-ku yang ku taruh di dalam tas. Ada panggilan suara dari deretan angka yang belum tersimpan. Meski ragu aku tetap angkat panggilan itu.

''Halo!'' sapaku mengawali.

''Beno ...'' Suara perempuan dari balik panggilan ini dengan nada pelan dan ragu-ragu.

''Ya, ini siapa?'' ujarku.

''Ini aku, Ben. Miranda ...''

''Mira?'' Aku mengkerutkan kening dan agak menjauhkan ponselku dari kuping, ''ada apa kamu menelponku?'' Aku kembali mendekatkan ponsel ke kuping.

''Beno, aku tahu kamu sangat membenciku, nomorku juga sudah engkau blokir. Tapi ada hal yang sangat penting yang akan aku sampaikan kepadamu ...''

''Udah tak usah bertele-tele, ngomong aja!'' tukasku ketus.

''Aku sangat bersalah sama kamu Ben, karena aku telah meninggalkanmu. Gara-gara aku, kamu pasti sangat menderita ... sungguh, aku menyesal, Beno!''

''Huh ... kenapa kamu menyesal, bukankah kamu sudah bahagia dengan laki-laki itu!''

''Beno, aku bahagia atau tidak biarlah aku yang merasakannya ...''

''Hmmm ... '' Aku bersingut sinis.

''Ada yang ingin aku tanyakan kepadamu, Beno ...''

'' ... '' Aku menghela nafas.

''Apa kamu masih normal?''

Deg ... sebuah pertanyaan yang membuatku terkejut dan jantung terasa mau copot.

''Apa maksudmu dengan pertanyaan konyol semacam ini ...'' hardikku kesal.

''Aku tidak mau gara-gara aku memutuskanmu, kamu jadi laki-laki belok, Ben ...''

''Hah ... bagaimana mungkin kamu berpikir seperti itu.'' Aku mulai cemas.

''Kamu mengenal, Pria?''

''Pria? ... Adik iparmu? Aku kenal!''

''Kau menyukainya?''

'' ... '' Aku terdiam.

''Katakan Beno, kalau kamu tidak menyukai dia!''

''Miranda, aku suka dia atau tidak itu bukan urusan kamu, ngerti!''

''Tidak Ben, jangan!'' Suara Miranda terdengar mulai terisak-isak, mungkin dia menangis.

''Aku mohon jauhi dia, kalau kamu tidak mau masuk ke dalam perangkapnya!'' kata Miranda lagi.

''Apa maskdumu?''

''Beno, aku dan kau adalah korban ... mereka sengaja ingin menghancurkan hidupmu!''

''Omong kosong apa ini, aku benar-benar tidak mengerti!''

''Beno ... Pria itu bukan adik Hendra, tapi dia kekasih sesama jenisnya. Mereka merencanakan sesuatu untuk membuat hidupmu hancur, jadi please cukup aku saja yang jadi korban dari kelicikan mereka!''

''Kamu ngomong apa, sih? Mira ... antara aku dan kamu sudah lama berakhir, jadi kamu tidak perlu ikut campur lagi dalam kehidupanku ... ingat! Yang membuat aku berubah itu adalah kau ... kau Miranda!''

''Iya ... aku memang salah, harusnya aku tidak tergiur dengan kemewahan harta.''

''Akhirnya kamu menyadari itu, Mira!''

''Iya, Beno ... aku sangat menyesal, menyesal sekali. Tapi biarkan aku kali ini menarikmu dari perangkap Hendra!''

''Hendra ... Hendra ... apa hubungannya dengan Hendra ...''

''Hendra menyimpan dendam kesumat terhadapmu, Ben!''

''Hehehe ... dendam apa? Aku mengenal dia sebelumnya juga tidak!''

''Ini yang aku juga tidak ketahui, Ben ... mengapa dia begitu membencimu hingga dia ingin melihatmu menderita ...''

''Miranda ... simpan cerita ngacomu dan biarkan aku dengan hidupku. Aku menderita atau tidak itu bukan urusanmu!''

''Okay, aku selalu berharap kau akan mendapatkan yang terbaik dalam hidupmu!''

''Thanks!'' tandasku sembari mematikan panggilannya.

Ya Tuhan, mengapa jadi kacau seperti ini, mungkinkah Miranda juga sudah mengetahui tentang hubunganku dengan Pria? Lalu apa maksud dari omongannya itu. Mengapa dia bilang suaminya menaruh dendam terhadapku, dendam apa? Kesalahan apa yang telah aku perbuat? Hmmm ... sungguh, aku tidak mengerti dengan semua ini.

''Pak ... lurus aja, nanti kalau ada pertigaan ambil kanan aja!'' kataku memberikan komando ketika aku memperhatikan sekeliling dari jendela taxi. Aku sudah memahami jalanannya.

''Baik, Mas!'' jawab sang sopir.

Setetes Madu Pria (SMP Babak 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang