Part 21 : Pengakuan

12.3K 361 20
                                    

Desir udara malam menghembuskan aroma waktu bahwa hari sudah larut, namun kelopak mata ini masih enggan terpejam. Pikiranku kembali terisi dengan bayang-bayang ilusi kenangan yang tak mampu kubuang. Kenangan bersama Miranda dan juga bersama Pria berseliweran datang bergantian. Mereka berdua seolah dua kubu yang diam-diam merusak kemurnian tatanan batinku. Miranda yang menggores luka di hatiku dan Pria yang mengobati luka itu.

Meskipun aku merasakan ada gejolak asmara terhadap Pria, namun jiwaku mengutarakan rasa penolakan yang begitu besar. Aku tidak mau terlarut dalam perasaan ganjil itu, kecuali ada suratan takdir baru buatku. Dan malam ini, aku akan mulai menuliskan kisah itu. Aku berharap ini adalah pilihan terbaik untuk mengukir perjalanan kehidupanku.

Aku keluar dari kamarku dan berdiri di depan balkon. Aku memandang ke arah langit yang berhiaskan terang cahaya rembulan serta jutaan bintang. Sungguh, lukisan malam terindah ciptaan Tuhan yang bisa aku saksikan. Masha Allah, syantiknya malam ini.

''Kau belum tidur, Beno?'' celetuk suara tenor Pria membuyarkan rasa kekagumanku terhadap alam yang tercipta dari Sang Maha Agung.

Perlahan aku menoreh ke pemilik suara merdu itu, ''belum Pria, aku belum mengantuk. Kamu sendiri mengapa belum tidur?'' sahutku.

Pria mendekati aku dan berdiri di sampingku, ''aku juga belum mengantuk,'' ujarnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Pria mendekati aku dan berdiri di sampingku, ''aku juga belum mengantuk,'' ujarnya.

''Kenapa?''

''Entahlah, Ben ...''

''Apa kau sedang memikirkan sesuatu?''

Pria mengangguk.

''Apa?''

Pria menatapku lekat-lekat dengan sorot mata yang dalam, ''Aku tidak tahu, aku cuma berpikir, ternyata dua orang yang saling mencintai itu tidak harus memiliki ...'' ungkapnya pelan-pelan.

''Maksudmu?''

''Beno ... sebenarnya aku dan kakakku saling mencintai lebih dari hubungan kakak beradik, aku dan dia ada hubungan hati yang terlarang.''

''Aku tidak mengerti, Pria ... apa maksudnya?''

''Aku dan Kakakku menjalin kisah bromance yang rumit.''

''Bromance?'' Aku mengkerutkan keningku.

''Iya, hubungan cinta sejenis antara kakak beradik.''

''Hah ... jadi kalian, Gay?'' Aku benar-benar terkejut mendengar ungkapan Pria.

''Bukan ... tapi kami saling tertarik dan saling menyayangi!''

''Aneh ... ''

''Apa aku salah bila menyayangi kakakku?''

''Tidak Pria, kecuali bila kamu melakukan hal yang melampaui batas ...''

''Beno ... apa kamu takut?''

''Takut kenapa?''

''Bila aku mengatakan sesuatu ...''

''Sesuatu apa?''

''Bahwa aku dan kakakku pernah terciduk melakukan hubungan intim di kamar oleh Ayah tiriku ...''

''Apa?'' Bagai ada sambaran petir mendengar pengakuan Pria. Benar-benar sulit dipercaya.

''Iya, dan hal inilah yang menyebabkan ayah tiriku jadi sangat membenciku dan mengusirku ...''

''Lo sakit, Pria, ternyata lo, Homo!'' Aku mundur beberapa langkah menjauhi Pria.

''Beno ... apa kamu akan membenciku setelah tahu aku yang sebenarnya?''

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan penuh rasa keheranan.

''Beno, please jangan benci aku!'' Mata Pria mulai berkaca-kaca.

''Lo homo, Pria, lo tidak normal!'' hardikku.

''Iya, aku memang menjijikan ... kamu pantas membenciku!'' Air mata Pria mulai berjatuhan membasahi kedua pipinya.

Aku terdiam dengan bermacam-macam spekulasi pikiran yang sempit dan dangkal. Entahlah, apakah aku akan membencinya atau memakluminya.

''Beno ... apakah kamu akan memutus pertemanan kita hanya karena status orientasi seksualku?''

Aku tak bergeming.

''Oke ... diammu adalah sebuah jawaban. Aku tahu itu. Aku tidak bisa memaksa kamu untuk memahami aku. Maaf Beno, karena aku sudah lancang masuk ke ruang kehidupan normalmu ...'' Kembali Pria meneteskan air matanya dengan perasaan luka yang dalam.

Aku masih berdiam diri, karena aku tidak tahu harus bersikap bagaimana. Aku mungkin masih bisa simpati dengan nasib hidupnya yang berasal dari keluarga yang kurang harmonis, tapi untuk memahami bahwa dia adalah seorang gay, jujur aku belum bisa.

Pria menatapku dengan pandangan nanar, dia tak lagi bicara, tapi sorotan matanya seolah bercerita bahwa ada sekelumit rasa yang sangat sulit untuk diterjemahkan dengan kata-kata. Laki-laki tampan ini mulai membalikkan tubuh tegapnya, lalu perlahan berjalan masuk ke tempat peristirahatannya. Dia menutup rapat pintu itu.

''Sorry, Pria, aku butuh waktu!'' ujarku dalam hati.

Setetes Madu Pria (SMP Babak 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang