Tepat pukul 03.03 WIB, aku terjaga dari tidur. Indera pendengaranku menangkap suara gema takbir yang berkumandang dari corong masjid-masjid terdekat.
__Ada apa ini? Pujian mengagungkan asma Allah ini sungguh menggetarkan jiwaku.
Aku bangkit dari empuknya kasur. Aku lihat Roni masih tergeletak lelap dalam tidurnya. Aku keluar dari kamar dan aku semakin jelas mendengar orang-orang bertakbiran seperti menyambut hari raya besar keagamaan umat muslim. Oh ya, aku teringat sekarang. Hari ini, tanggal 28 Juli ada peristiwa alam langka yang terjadi, yakni gerhana bulan total yang durasi proses gerhana berlangsung paling lama pada abad ini, karena menghabiskan waktu sekitar 1 jam 43 menit.
Saat aku berada di balkon bangunan kost-an, aku melihat sosok laki-laki yang sedang berdiri termangu memandang langit cerah yang menampilkan prosesi gerhana bulan hingga terbentuk blood moon yang indah. Dari belakang nampak jelas bahwa punggung laki-laki itu sungguh lebar dan tegap. Dan aku sangat percaya bahwa dia adalah Pria. Syukurlah, kalau dia sudah pulang.
Aku ingin menyapanya, tapi tiba-tiba mulutku terasa kelu. Lidahku seolah terkunci untuk berkata-kata. Aku hanya bisa memandang siluet tubuhnya yang tersiram cahaya lampu jalanan dari jarak beberapa meter. Sejurus kemudian, ups ... Pria membalikkan tubuhnya, wajah tampannya nampak terkesiap melihat kehadiranku. Dia terpaku memandangku dengan tatapan hampa tanpa suara. Lalu perlahan dia memutarbalikkan badannya dan mulai berjalan meninggalkan balkon.
''Tunggu, Pria!'' Entah, mulutku refleks berucap untuk mencegah langkah Pria. Dengan gesit aku juga menghampirinya, ''gue ... emm ... aku mau ngomong sama kamu,'' ujarku ragu-ragu tepat pada jarak beberapa centi dari tubuh Pria.
Pria langsung menoreh ke arahku perlahan, ''mau ngomong apa?'' ujarnya dengan volume suara yang lirih, lirih sekali seperti orang yang sedang berbisik, hampir aku tidak mendengarnya dengan jelas.
''Pria, aku minta maaf atas sikapku beberapa waktu yang lalu,'' kataku.
Pria hanya diam tercengang.
''Aku tidak peduli siapa dirimu, aku ingin menjalin pertemanan dengan kamu lagi, aku ingin kita berdamai, Pria. Dan tak ada lagi permusuhan di antara kita,'' lanjutku.
''Beno ... kamu tahu aku ini gay, kamu tidak takut?'' kata Pria masih dengan suara yang pelan.
''Tidak, aku tidak takut,''
''Aku sakit, aku tidak normal, aku homo, Beno!'' ujar Pria sedikit menaikan volumenya.
''Aku tidak peduli!'' tukasku.
Pria jadi merunduk.
''Aku ingin kamu jadi temanku, Pria,'' kataku berlanjut.
''Tidak ... aku tidak mau jadi temanmu!'' timpal Pria tegas.
''Kenapa?'' tanyaku heran dengan nada kecewa.
Pria tak langsung menjawab. Dia mengangkat dagunya dan menatapku lekat-lekat, lalu ...
''Karena aku ingin kamu jadi pacarku!'' tandas Pria pelan tapi bikin jleb di hatiku.
Sungguh, aku jadi terbengong dengan pernyataan Pria barusan. Aku tidak tahu harus bagaimana untuk menjawabnya. Aku jadi terdiam dan benar-benar tidak mengerti dengan jalan pikirannya itu.
''Kenapa diam, Beno? Hmmm ... kamu pasti tidak bisa, bukan?'' ucap Pria lugas.
Aku masih berdiam diri. Karena aku tidak tahu harus ngomong apa bila dihadapkan pada posisi macam begini.
''Jujur ... sejak mengenalmu aku tertarik. Sikapmu yang unik dan baik perlahan mengikis rasa cintaku pada Kakak Tiriku. Kau mampu melabuhkan hatiku setelah hati ini terombang-ambing dalam lautan cinta sesat yang dihempaskan Kak Hendra dari pelabuhan hatinya.''
Aku tetap membisu dalam kebekuan.
''Aku baru menyadari sesuatu setelah aku mengenalmu, Beno. Ada ketulusan dalam dirimu yang tak aku dapatkan dari Kak Hendra. Kau memberikan kasih tanpa pamrih, sementara Kak Hendra memberikan kasih karena menginginkan tubuhku. Aku hanya dijadikan budak pelampiasan nafsunya.''
Aku benar-benar speechless setelah mendengar ucapan demi ucapan yang diutarakan Pria.
''Beno, aku tidak pernah membencimu meskipun kamu mendiamkan aku. Aku tidak pernah sakit hati meskipun kamu merasa jijik terhadapku. Bagiku, kau seperti bulan baru setelah terjadi gerhana ... cahayamu mampu menerangi jalan terbaik buatku.''
Entah, mengapa aku jadi tidak bisa bersuara. Mulutku rasanya kaku untuk digerakan.
''Aku menyayangimu, Beno ... tapi aku tidak pernah mengharap lebih. Aku tidak akan memaksa kamu untuk menyayangiku juga. Maaf, jika aku pernah salah dalam bertindak, baik yang kusengaja atau yang tak kusengaja.''
Pria memandangku dengan pandangan mata yang berkaca-kaca. Lalu tanpa berucap lagi dia mulai membalikkan tubuhnya dan perlahan pergi meninggalkan aku.
Sungguh, tubuhku jadi gemetar seperti ada alat vibration yang menyentuhku. Kakiku terasa berat untuk digerakkan. Jiwaku berontak antara ingin bertindak atau berteriak.
''Pria!'' Akhirnya aku bisa bersuara lagi. Aku menggerakkan syaraf-syaraf tubuhku dengan sekuat tenaga, lalu aku melangkahkan kaki ini untuk menhampiri Pria. Dan entah, kekuatan apa yang mendorong tanganku untuk bergerak cepat merangkul dan memeluk tubuh Pria dari belakang.
''Pria, aku juga menyayangimu ... dan aku mau jadi pacarmu!'' ujarku setengah berbisik di telinga Pria.
Sadar atau tidak, aku tidak tahu mengapa aku bisa mengutarakan hal seperti itu. Aku hanya menuruti kehendak hati dan berusaha jujur pada perasaanku sendiri. Aku tidak bisa mengelak memang ada perasaan sayang pada diri Pria. Entah, perasaan sayang yang seperti apa, apakah hanya sebagai sahabat atau lebih. Biarlah nanti waktu yang akan menjawab.
Pria menghadap ke arahku. Lalu tanpa ragu dia menempelkan bibir ranumnya di atas bibirku. Dia mengecup lembut dan mengulum perlahan bibir ini hingga tercipta paduan sensasi kenikmatan seni berciuman yang belum pernah aku rasakan. Bagai bayang bumi yang menutupi bulan, hingga tercipta gerhana, tubuhku dan tubuh Pria menyatu dan merapat membentuk kehangatan di tengah malam yang dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Setetes Madu Pria (SMP Babak 1)
Short StoryUntuk 17++ Aku yang seorang pria normal serta merta harus terjerumus dalam cinta sejenis bersama pria normal yang lainnya. Bisakah aku menghindari kenyataan ini? atau malah justru menikmatinya?