''Beno, minumlah Frapucino-nya!'' ujar Pria.
''Iya Pria, terima kasih!'' sahutku.
Pria mengambil satu gelas Frapucino ice blend, kemudian dia menyeruput minuman itu dengan menggunakan sedotannya. Usai menyeruput beberapa teguk dia menatapku dengan pandangan yang pilu. Sorot matanya teduh, tapi menyimpan misteri cerita yang tak aku pahami.
''Beno, kisah hidupku tak semanis dan tak segurih Frapucino ini,'' kata Pria pelan.
''Jika tidak keberatan maukah lo menceritakan kisah hidup lo kepada gue?''
''Tentu, jika kamu ingin mendengarnya. Tapi aku khawatir, kamu akan bosan dengar kisahku.''
''Hehehe ... lo belum cerita, bagaimana gue bisa bosan.''
''Beno, sungguhkah kau mau mendengarkannya?''
''Iya, Pria ...''
''Tapi, kamu bukan temanku. Kamu juga tidak mau berteman denganku. Bagaimana mungkin kamu akan tertarik dengan kisahku ...''
''Mmm ... Pria, sorry ... gue minta maaf dengan sikap gue waktu itu. Gue memang tidak mudah berteman dengan orang, tapi bukan berarti gue tidak mau berteman dengan lo ...''
''Benarkah?''
''Iya ...''
''Kalau begitu kamu mau berteman denganku?'' Pria menyodorkan tangannya ke hadapanku.
''Iya Pria, tentu saja!'' Aku menjabat tangan Pria dengan erat.
''Jadi sekarang kita berteman?''
''Iya, kita berteman, Pria'' Aku tersenyum untuk meyakinkan Pria.
''Oke, mulai sekarang kita adalah teman!''
''Hehehe ...'' Aku tertawa dan Pria juga.
''Beno habiskan minumanmu, setelah itu kita cari tempat yang asik buat mengobrol. Aku akan menceritakan semua kisahku kepadamu!''
''Baiklah, Pria!''
Aku dan Pria segera menghabiskan minuman ini, lalu setelah kami membayar tagihannya kami bergegas pergi meninggalkan cafe itu.
Bersama sepeda motornya, kami berdua bergerak melewati jalanan yang cukup ramai dengan pedagang kaki lima yang berjajar di sepanjang jalan. Kami berhenti, ketika kami berada di sebuah taman. Taman ini sangat luas dan penuh dengan pepohonan rindang. Di pinggiran taman banyak bangku yang berjajar mengelilingi area taman. Aku dan Pria duduk di salah satu bangku tersebut.
Sebelum Pria bercerita, dia menyalakan satu batang rokoknya dan menghisapnya perlahan-lahan.
''Beno ... '' Ujar Pria.
''Iya ...'' Aku mendongak ke arahnya.
''Apa kau tipe orang yang dapat dipercaya?''
''Gue adalah orang yang selalu berusaha untuk tidak mengecewakan orang lain.''
Pria tersenyum mendengar pernyataanku.
''Oke ... aku percaya sama kamu, Ben!''
Pria menghisap dalam-dalam batang rokok itu dan menghempaskan jauh-jauh asapnya. Lalu, dia melirik ke arahku. Aku hanya merunduk dan terdiam menunggu dengan tenang, apa yang hendak Pria ucapkan.
''Saat Ibu menikah lagi aku baru berusia dua tahun ...'' Pria memulai bercerita. Aku semakin tenang dan semakin antusias mendengarkannya.
''Setelah menikah, Ibu membawaku ke dalam keluarganya yang baru. Kami tinggal di sebuah perumahan elite yang ada di kawasan Jakarta Timur. Dalam rumah itu ada Ibu, Ayah tiriku, Kakak tiriku, aku dan beberapa pembantu. Pada awalnya aku merasa bahagia bisa tinggal di dalam rumah yang penuh canda tawa. Namun menginjak usia remaja keadaan mendadak berubah setelah perusahaan yang dipimpin oleh ayah tiriku mengalami kebangkrutan. Dia menjadi tempramental. Suka marah-marah, memukulku dan membentak-bentakku meskipun aku tidak melakukan kesalahan apa pun. Tak ada hari tanpa air mata. Karena setiap hari ayah memaksaku untuk melakukan pekerjaan rumah demi penghematan dalam pengeluaran uang. Mereka juga memecat semua pembantu di keluarga kami.
''Saat ayah tiri lo memukul lo, apakah Ibu lo tahu?'' ucapku memotong cerita Pria.
''Tahu, tapi Ibu tidak bisa berbuat banyak. Beliau sangat patuh dengan suaminya.''
''Bagaimana dengan kakak tiri lo? Apakah dia memusuhi lo juga?''
''Tidak, kakakku bersikap baik dan sangat menyayangiku meskipun dia tahu aku bukan adik kandungnya,''
''Dia laki-laki atau perempuan?''
''Laki-laki!''
''Oh ya?''
''Iya ... kakakku bernama Hendrawan. Dia adalah kakak terbaik yang pernah aku kenal. Saat aku menangis sehabis dipukul Ayah, kakakku yang menenangkan aku, menghiburku dan mengajakku bermain. Kehadirannya seperti obat saat aku terluka. Dia selalu membantu menghapus air mataku dan merubah tangisku menjadi senyum tawa.
''Apakah lo mempunyai adik?''
''Ada ... bersama Ayah tiriku, Ibu melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Indri. Dia adik yang lucu dan memberikan keberuntungan di keluarga kami. Karena sejak kelahirannya keuangan di keluarga kami berangsur-angsur membaik. Bisnis yang dikelola Ayah kian hari kian berkembang dan sangat signifikan. Namun seiring dengan finansial yang membaik sikap Ayah terhadapku tak pernah berubah. Dia masih saja membenciku.
''Apa lo tahu alasan mengapa Ayah tiri lo sangat membenci lo, Pria?''
''Aku tidak tahu ...''
''Apakah lo jadi membenci Ayah tiri lo?''
''Jujur ... aku membencinya bila mengingat semua perlakuan dia terhadapku, tapi dia juga telah berjasa dalam kehidupanku, dia yang membiayai sekolahku dan membesarkan aku hingga aku jadi mandiri seperti sekarang ini.''
''Pria ... apa gue boleh bertanya sesuatu?''
''Hehehe ... bukankah dari tadi kamu sudah banyak tanya, Ben?''
''Iya ... tapi apa yang akan gue tanyakan ini mungkin agak sensitif, Pria.''
''Hahaha ... emang apa sih, yang akan kamu tanyakan, Ben?''
''Mmm ... kenapa lo lebih memilih tinggal di Kost-an dan tidak tinggal bersama keluarga lo?''
''Aku sekarang sudah bekerja, aku ingin hidup mandiri dan ingin bebas ...''
''Bebas untuk apa?''
''Bebas untuk menjalani hidupku sesuai dengan keinginanku ...''
''Oh, gitu ... ''
Pria hanya mengangguk.
''Pria ada satu lagi yang ingin gue tanyakan ...''
''Iya, bilang aja, Ben!''
''Kenapa kemarin lo pulang larut malam dalam keadaan mabuk berat?'' tanyaku, namun Pria tak segera menjawab. Dia hanya menatapku dengan pandangan mata yang sedikit nanar.
''Sorry Pria, kalo gue agak kepo.''
''Tidak apa-apa, Ben ...''
''Jadi apa alasan lo mabuk-mabukan kemarin?''
Pria merunduk dan menghembuskan nafasnya dalam-dalam. Lalu dia mendongak ke arahku dan mulai membuka mulutnya kembali.
''Kamu tahu Ben, di keluargaku aku tidak punya hak apa pun karena predikatku hanya sebagai anak tiri, aku bukan siapa-siapa mereka dan aku sadar itu ... dan salah satu alasan inilah yang menyebabkan aku memutuskan untuk lebih memilih tinggal di tempat kost.''
Mata Pria nampak berkaca-kaca.
''Dan mengapa aku mabuk kemarin ... aku hanya merasa sedih, sedih sekali,'' Pria menghentikan ucapannya karena tanpa sengaja butiran air matanya menetes membasihi pipinya.
''Sedih kenapa, Pria?''
''Kamu tahu satu-satunya orang yang aku sayangi adalah Kak Hendra, karena hanya dialah orang yang menyayangi aku dengan sangat tulus ... tapi kini dia akan menikah dan aku sangat takut kehilangan kasih sayang dari dia ...'' Pria mendadak menangis tersedu-sedu. Air matanya bercucuran bagai rinai hujan yang berjatuhan. Tubuhnya yang kekar seketika gemetar seperti orang yang sedang demam. Pria yang kukenal sebagai laki-laki tegar kini nampak seperti anak kecil yang telah kehilangan mainan kesayangannya. Laki-laki tampan ini duduk bersimpu sambil menangis terisak-isak di hadapanku. Sungguh, aku tidak tahu harus berbuat apa, aku hanya refleks mendekati tubuhnya dan perlahan memeluknya dengan sangat erat untuk menenangkannya. Aku benar-benar merasa iba dan turut merasakan kepedihannya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Setetes Madu Pria (SMP Babak 1)
Short StoryUntuk 17++ Aku yang seorang pria normal serta merta harus terjerumus dalam cinta sejenis bersama pria normal yang lainnya. Bisakah aku menghindari kenyataan ini? atau malah justru menikmatinya?