Untuk 17++
Aku yang seorang pria normal serta merta harus terjerumus dalam cinta sejenis bersama pria normal yang lainnya. Bisakah aku menghindari kenyataan ini? atau malah justru menikmatinya?
Jam yang melingkar di pergelangan tanganku sudah menampilkan angka 23.24, hari telah larut malam. Aku masih di apartemen Roni. Padahal aku sudah sangat letih dan ingin segera beristirahat. Mataku juga sudah menunjukkan nilai watt yang lemah. Mungkin tinggal 0,5 watt.
''Beno, gue perhatikan lo sudah sangat lelah sekali, bermalam sajalah di sini!'' ucap Roni membujukku, ketika aku hendak berpamitan pulang.
Aku hanya tertunduk dan diam mendengar bujukan Roni.
''Please, menginaplah! Anggap saja gue memohon, gue khawatir saat lelah begini lo akan hilang fokus, Ben. Gue tidak mau terjadi sesuatu terhadap diri lo!'' Tangan Roni menyentuh pundakku dan mengusapnya pelan-pelan.
''Baiklah, gue akan turuti permintaan lo. Gue mau menginap di sini!'' Akhirnya aku memutuskan ini, karena aku juga tidak tega melihat Roni yang masih kurang sehat ditinggal sendirian.
''Gitu dong!'' Roni tersenyum menampilkan wajah girangnya sambil merangkulku dan menuntunku kembali ke ranjangnya.
Lantas, kami pun bersiap-siap membaringkan diri di atas ranjang busa yang terlalu empuk bila dibandingkan dengan kasur lapukku di kost-an.
Roni mematikan sebagian lampu di apartemennya dan membiarkan satu lampu meja yang menyala redup di kamarnya. Kemudian mulutnya berkomat-kamit membaca do'a sebelum tubuhnya terbaring di sebelahku. Dia melirikku sesaat tanpa berkata apa pun hingga matanya terpejam dan tertidur lelap. Melihat Roni pulas dalam tidurnya, aku pun mulai menutup kedua kelopak mataku dan berharap aku bisa menyusulnya dengan cepat di alam mimpi. Selanjutnya aku tidak ingat apa-apa lagi. Aku sudah terhempas di bunga tidur.
Sekitar 2-3 Jam kemudian aku terjaga dari tidurku, ketika aku merasakan ranjang ini bergoyang-goyang. Aku pikir ada gempa, tapi ternyata tidak, ranjang ini bergoyang akibat tubuh Roni yang menggigil seperti orang yang kelewat kedinginan. Aku periksa leher dan kening Roni. Suhunya terlalu panas, tapi keringat dingin bercucucuran di sekujur tubuhnya. Ya Tuhan ... Roni terkena demam!
Tubuh Roni gemetaran hebat, giginya gelatukan dan wajahnya pucat pasi. Aku segera mengambilkan obat anti demam dan membantu dia untuk meminumnya. Setelah minum obat, aku menyuruhnya tiduran kembali dan menyelimuti tubuhnya dengan selimut yang lebih tebal.
Beberapa menit telah berlalu, dan demam Roni pun berangsur-angsur mereda. Akan tetapi, badan dia masih menggigil kedinginan. Aku periksa kembali kening dan leher Roni, suhunya sudah menurun dan normal. Namun, tubuh sahabatku itu masih saja gemetaran seperti berada di kutub utara. Aku jadi cemas dan panik. Aku bingung dan tidak tahu apa yang harus aku lakukan lagi untuk membantunya.
Di tengah rasa kalut dan bimbang ini, akhirnya aku berinisiatif masuk ke kain selimut dan memeluk erat tubuh Roni dengan harapan agar teman dekatku ini tidak merasa kedinginan lagi. Dan syukurlah saat aku memeluknya, tubuh Roni perlahan-lahan mulai tenang dan tidak menggigil lagi.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Aku terus me-transfer energi panas tubuhku untuk menghangatkan tubuh Roni, hingga kami terlelap tidur kembali. Kami berpelukan seperti sepasang bayi gorilla sepanjang sisa malam hingga pagi menjelang.
Kami berdua sama-sama terbangun, ketika benda kejantanan kami saling bergesekan hingga menciptakan ereksi frontal yang berdenyut-denyut. Kontolku dan kontol Roni yang sama-sama ngaceng ini saling bersentuhan sehingga menimbulkan sensasi rangsangan kenikmatan yang tak terduga. Dan saat menyadari hal ini, aku dan Roni jadi tersentak kaget dan buru-buru saling melepaskan pelukan. Kami berusaha menjauhkan diri dari tubuh kami masing-masing, karena kami menganggap semua ini adalah kelakuan yang janggal mengingat status kami yang hanya sebagai teman dan kami juga sama-sama berjenis kelamin laki-laki.
Aku juga masih berpikir bahwa Roni adalah cowok yang normal, dan dia tidak akan melakukan perbuatan yang melampaui batas. Untuk kesekian lamanya aku dan Roni jadi terpaku dan saling menjaga jarak. Entahlah, tiba-tiba saja suasana jadi membeku seperti dalam freezer.
''Sorry Ron, semalam gue terpaksa memeluk lo, karena gue tidak tega melihat lo menggigil kedinginan,'' ujarku agak gugup dan berusaha melumerkan suasana.
''Iya, tidak apa-apa. Gue harusnya yang meminta maaf karena gue udah ngerepotin lo, Ben.'' tukas Roni.
Setelah itu, kami jadi terdiam kembali. Kami sama-sama tidak tahu harus ngomong apa untuk memulai percakapan.
''Ndot ... '' ucapku setelah sekian lamanya dalam kekakuan situasi.
''Iya ...'' jawab Roni singkat.
''Gue pamit, ya ...'' ucapku lagi.
''I-iya ...'' jawab Roni yang terdengar gagap.
Aku bangkit dari ranjang dan segera merapikan semua pakaian dan penampilanku. Lalu aku bergegas menuju pintu.
''Ben ...'' seru Roni menghentikan langkahku.
Aku melengos ke arah tubuh Roni dan menatap wajah piasnya.
''Terima kasih!'' kata Roni.
Aku mengangguk pelan, lalu membuka pintu apartemen Roni dan secepatnya pergi dari kediaman sahabat laki-lakiku itu.