Part 46 : Dendam

8.1K 299 66
                                    

Nyanyian burung love bird yang terkurung di dalam sangkar terdengar merdu. Burung berbulu warna-warni seperti pelangi itu seolah menyambut kepulanganku dengan kicauannya. Hewan peliharaan anaknya ibu kost itu tetap terlihat ceria meskipun kebebasan mereka terbelenggu kandang yang terbuat dari anyaman bambu. Andai aku bisa seperti burung-burung itu yang selalu bersenandung riang walau berada dalam keterbatasan. Sayangnya, aku hanya manusia biasa yang senantiasa mengeluh bila dihadapkan pada masalah. Merasa tak beruntung meskipun masih banyak yang lebih tak beruntung lagi. Kurang bersyukur, tapi berharap ingin selalu mujur. Dasar manusia!

 Dasar manusia!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Well,

Langkah kaki ini terhenti tepat di depan kamar kost-ku. Dan belum sempat aku membuka pintu kamar ini, aku mendengar suara tawa cekikikan dari kamar sebelah, kamar Pria. Lalu tak lama kemudian, dua orang laki-laki keluar dari kamar tersebut dalam keadaan telanjang dada dan sekujur tubuh bermandikan keringat. Mereka adalah Pria dan Hendra. Mimik muka mereka seketika berubah, ketika melihat keberadaanku, terutama Pria, dia nampak sekali terkesiap dan berusaha menyembunyikan rasa kegugupannya. Wajahnya pucat seperti orang melihat makhluk ghaib.

''Beno ... aku akan jelaskan yang sebenarnya, ini tidak seperti yang kamu pikirkan!'' ujar Pria buru-buru dengan suara yang terdengar kaku. Sikapnya salah tingkah dan seperti orang yang canggung.

''Tidak, sekarang saatnya aku yang jelaskan semua!'' timpal Hendra dengan suara yang lebih tenang.

Aku hanya menatap mereka dengan pandangan tajam.

''Seperti yang kau lihat, aku dan Pria habis ML ... '' kata Hendra.

''Kakak!'' tukas Pria memotong dengan mata yang melotot penuh dengan kecemasan.

''Kamu tahu ML, 'kan, Beno? Menghisap Lontong ... sungguh, hisapan mulut Pria itu memang enak, ough ... ah ... ah ... Hehehe'' lanjut Hendra dengan tertawa jahat.

Aku hanya menarik nafas panjang.

''Tidak Beno, itu tidak benar!'' seru Pria membantah.

''Tidak ... itu benar. Karena kami sebenarnya adalah sepasang kekasih!'' ungkap Hendra sambil menarik tubuh Pria dan memeluknya dengan erat sambil mencium bibir Pria dengan penuh nafsu, meskipun Pria nampak berusaha menghindari ciuman Hendra.

Aku jadi merunduk. Aku enggan menonton adegan yang terlalu vulgar tersebut.

''Kenapa kamu merunduk, Ben? Apa kamu cemburu?'' kata Hendra.

Aku masih terdiam dengan mengepalkan tanganku untuk menahan geram.

''Beno ... please! Kamu jangan dengarkan omongan Kakakku!''

''Pria ... diam kamu! Tugasmu sudah selesai, Sayang!'' hardik Hendra dan Pria langsung terdiam tak berkutik.

Aku tetap mematung.

''Beno Raharjo ... umur 23 tahun, Kelahiran Pemalang, 28 Juli dari seorang Ibu bernama Darsina. Bekerja di perbankan sebagai customer service ....'' ujar Hendra dengan lancar.

Sungguh, ini membuatku jadi terperanjat, bagaimana dia tahu semua data pribadiku.

''Kenapa? Kamu terkejut ... kok aku bisa tahu siapa dirimu?''

Aku cuma menatapnya sambil geleng-gelengkan kepala.

''Pacar perempuanmu bernama Miranda, oh tidak ... itu mantan! Karena perempuan itu sudah menjadi istriku, hehehe ...'' Hendra tertawa menyebalkan.

Aku masih ternganga, tapi tak melakukan apa-apa. Aku hanya berusaha mengontrol emosiku agar tidak melakukan tindakan nekat yang justru akan merugikan diriku sendiri.

''Kasihan kamu Beno, tak hanya kekasih perempuanmu yang pergi meninggalkan kamu, tapi kekasih lelakimu juga jatuh ke pelukanku,'' Hendra mencium-cium pipi dan bibir Pria, Pria hanya diam dan pasrah.

Aku menarik nafas panjang lagi.

''Kenapa kau lakukan ini padaku?'' ujarku geram.

''Hahaha ... " Hendra tertawa lebar, ''ini yang kutunggu dari mulutmu, Ben!'' imbuhnya sembari berjalan menghampiriku.

''Kamu ingin tahu, kenapa?'' Hendra membisikan di kupingku, ''karena kau telah mempermalukan seorang Hendra Wiryawan!'' lanjutnya sambil menunjuk-nunjuk dadaku.

''Aku tidak pernah mengenalmu dan bertemu denganmu, Hendra! Bagaimana mungkin aku mempermalukan dirimu!''

''Ya ... kamu memang tidak pernah mengenalku, tapi kamu pernah menumpahkan minumanmu di pakaianku dan membuat orang-orang menertawakan aku!''

Aku terbengong mendengar penjelasan Hendra. Ingatanku langsung tertuju pada kejadian satu tahun silam di sebuah club malam. Di mana pada saat itu aku menumpahkan segelas minumanku ke tubuh seorang laki-laki yang tak kukenal.

''Jadi, laki-laki di club malam itu adalah kamu, Hendra?'' ujarku dengan terbelalak.

''Iya, dan kamu harus menanggung semua akibat dari perbuatanmu itu!'' Hendra menggertak.

''Tak kusangka hanya hal sepele itu kamu menyimpan bara api kebencian di hatimu, Hendra. Padahal itu hal yang tak kusengaja! Apa kamu puas membalas dendam dan menyakiti orang-orang yang tak bersalah!''

''Hahaha ...'' Hendra tertawa iblis, ''tentu aku puas, bila melihatmu dan orang-orang yang kamu kasihi menderita dan menangis darah!'' lanjutnya.

''Oke, kamu sudah membalas dendammu, Hendra. Kau berhasil membuatku menderita, apa lagi yang kamu inginkan dariku?''

''Hahaha ...'' Hendra tertawa ngakak, ''tidak, ini sudah cukup. Melihatmu merana begini, aku jadi tidak tega untuk melakukan hal jahat lagi terhadapmu,'' tambahnya.

''Berarti aku anggap tak ada lagi hutang dendam di antara kita. Semua sudah lunas, dan aku mohon kepada kamu, jangan mengganggu kehidupanku lagi!''

''Hehehe ...'' Hendra Cuma ngekek dengan ekspresi wajah bengis.

''Oh ya, aku juga mau ucapkan terima kasih buat kamu, Hendra!''

''Hmmm ... terima kasih buat apa, Ben?''

''Terima kasih untuk balas dendammu, karena dari balas dendammu itu aku jadi mengetahui mana orang-orang yang tulus dan mana orang-orang yang berhati palsu dan berakal bulus!'' tandasku sambil melirik ke arah Pria yang hanya bisa berdiri terpaku seperti boneka bodoh.

''Hahaha ...'' Hendra tertawa, Pria terdiam, aku bersingut.

Lalu, tanpa banyak kata lagi, aku segera membuka pintu kamarku dan menutupnya rapat-rapat. Di dalam kamar aku menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya perlahan-lahan. Aku merayakan kemenangan atas pengendalian emosi diriku yang sesungguhnya sudah meletup-letup berada di ujung ubun-ubun. Kepalan tangan ini sebenarnya sudah gatal untuk menonjok dan menghajar Hendra. Namun, aku sadar kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah dan justru akan menimbulkan masalah baru serta melahirkan janim dendam lagi. Jadi lebih baik aku mengalah, walau sesak di dada dan luka di hati.

Aku hanya melampiaskan kekesalan ini, dengan memukul-mukul bantal guling.

BUG ... BUG ... BUG ... BUG!

Setetes Madu Pria (SMP Babak 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang