Part 3 : Tergugah

23.6K 607 18
                                    

Puas aku menguras buliran air mata, ada perasaan tenang yang menyelimuti batin dan jiwaku. Aku pun segera menyeka sisa-sisa air mata ini dan merapikan diri. Aku tidak mau terlihat kacau saat keluar dari ruangan toilet ini. Aku juga tidak ingin mereka, orang-orang di luaran sana yang memandangku akan berpikir bahwa aku ini makhluk laki-laki yang lemah dan tak berdaya.

Setelah merasa beres, aku memberanikan diri keluar dari kamar berukuran 2x2 m ini. Saat aku membuka pintunya, aku hanya melihat petugas kebersihan yang sedang mengepel lantai.

Dia sempat melirik ke arahku dan memperhatikan penuh ke wajahku, dia memang diam tak bersuara, tapi sorot matanya seolah berkata, ''hei, Mas! Mengapa matamu bengkak dan memerah, apakah kamu habis menangis?'' Ah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dia sempat melirik ke arahku dan memperhatikan penuh ke wajahku, dia memang diam tak bersuara, tapi sorot matanya seolah berkata, ''hei, Mas! Mengapa matamu bengkak dan memerah, apakah kamu habis menangis?'' Ah ... itu pertanyaan konyol yang hanya ada di dalam pikiranku saja dan anehnya bibirku refleks berkata, ''Aku habis kelilipan!'' Aku nyengir sambil berharap petugas kebersihan itu tidak menatapku lagi.

''Mas!'' Tiba-tiba petugas kebersihan itu memanggilku sesaat setelah beberapa langkah kakiku menjauh dari ruang toilet.

Aku segera melengos, ''ada apa?'' kataku datar.

''Ada yang ketinggalan di dalam bilik toilet itu!'' ujar sang petugas ini sambil menunjuk ke arah bilik toilet yang baru saja aku kenakan.

''Oh, ya?'' sahutku sembari bergegas balik ke toilet tersebut. Aku langsung memeriksa seluruh ruangan toilet ini, dan memang benar ada telepon genggamku yang tergeletak di atas lantai. Mungkin, saat aku menangis dan terjongkok tadi, tanpa sadar HP itu terlepas dari saku celanaku.

Aku meraih gadget kesayanganku ini dan segera memasukannya kembali ke kantong celanaku.

''Terima kasih ya, Mas!'' kataku pada sang petugas kebersihan.

''Sama-sama!'' jawab laki-laki yang kutaksir berusia 30 tahunan itu dengan menyunggingkan senyuman yang lebar. Aku membalas senyumannya dengan senyuman simpul. Aku tidak tahu harus bagaimana untuk mengapresiasikan kejujurannya. Aku cuma berharap dia akan selalu mendapatkan keberkahan dari Sang Pencipta. Dan, aku yakin perbuatan baiknya akan mendatangkan balasan yang setimpal untuknya.

Well ...

Kini aku berada di luar salah satu pusat perbelanjaan yang ada di Jakarta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kini aku berada di luar salah satu pusat perbelanjaan yang ada di Jakarta. Lama berada di dalam toilet membuatku tidak menyadari bahwa hari sudah beranjak gelap. Adzan maghrib telah berkumandang dan terdengar lamat-lamat dari masjid yang berada di kejauhan sana. Tanpa berpikir panjang, aku pun segera pergi ke tempat peribadatan umat muslim tersebut.

Usai menjalankan sholat tiga rakaat, aku melanjutkan langkahku yang masih tanpa tujuan. Meskipun demikian aku tidak peduli, karena aku juga masih enggan untuk pulang ke kost-anku. Apalagi ini malam minggu, malam yang menurut sebagian banyak orang adalah malam yang panjang. Malam yang paling asik untuk berkencan. Duduk berduaan dan bermanja-manjaan dengan pasangan.

Huh ... pikiranku kembali pada masa indah bersama Miranda. Saat itu adalah saat yang paling menyenangkan dalam hidupku. Bersamanya tak ada hari yang tak tertawa. Dia merupakan perempuan humoris yang pernah aku kenal. Tingkahnya yang terkadang alay tapi kocak mampu mengocok perutku hingga aku tertawa terpingkal-pingkal. Dia yang mengenalkan aku apa arti sebuah cinta. Dari dia pula aku memahami makna sebuah ikatan perjanjian hati. Akan tetapi, apalah arti itu semua kini, dia telah pergi meninggalkan aku dan merusak semua kepercayaanku. Dia yang mengangkatku, tetapi dia juga yang mencampakanku. Miranda menanamkan benih cinta sekaligus kebencian dalam batinku.

Huft ... aku harus bisa menghempaskan kenangan-kenangan bersamanya agar aku mampu meniti kembali kehidupanku tanpa ada bayang-bayang luka yang dia goreskan di hatiku.

Mendadak langkah kaki ini terhenti, ketika kedua mataku menangkap sesosok gerak perempuan cilik yang berlarian kecil menyusuri tepi jalanan yang berbatu. Langkahnya yang lincah seolah menarikku untuk mengikuti ke mana kaki-kaki mungilnya itu bergerak. Dia membawa kantong plastik berwarna hitam sembari bersenandung sebuah lagu hits yang lagi booming saat ini. Ya ... perempuan kecil itu berceloteh, "emang lagi syantik tapi bukan sok syantik, syantik ... syantik gini hanya untuk dirimu ... uhuuu ....'' dengan aksen suara yang manja dan menggemaskan.

'' dengan aksen suara yang manja dan menggemaskan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Gadis kecil itu berhenti di sebuah lorong. Kemudian tubuh rampingnya bergerak mendekati seorang laki-laki tua yang sedang terbaring di atas lantai tepat berada di depan pertokoan yang telah ditutup pemiliknya.

''Mira ... '' Suara laki-laki tua itu terdengar serak-serak. Cukup mengejutkan aku, bukan karena nada suaranya, tetapi sebutan Mira yang dia lontarkan kepada bocah perempuan itu. Kenapa harus nama itu yang terdengar di telingaku, tentu saja ini mengingatkan aku kepada orang yang sangat aku benci.

''Ya, Bapak!'' jawab anak perempuan itu.

''Kamu sudah membawa makanannya, Nak?'' kata laki-laki tua itu, ketika anak perempuannya merunduk dan duduk di sampingnya.

''Iya, Pak, Mira sudah bawa sebungkus nasi,'' jawab Mira kecil. Lalu dia membuka kantong plastik hitam dan mulai mengeluarkan isinya. Gadis berwajah dekil ini merunduk lesu ketika membuka bungkusan nasinya.

''Maaf, Pak, Mira cuma bisa membeli nasi dan tempe goreng saja,'' kata Mira dengan suara yang mulai terisak.

''Tidak apa-apa, Nak, syukuri saja!'' Laki-laki tua itu tersenyum sambil mengusap-usap rambut kusam bocah perempuannya, ''harusnya Bapak yang minta maaf sama kamu, Nak. Karena Bapak tidak bisa memberikan makanan yang lebih baik buat kamu,'' lanjutnya dengan nada haru.

Mira menatap wajah bapaknya dengan tatapan yang sendu, bibir imutnya terkatup serta ekspresinya mendadak berubah pilu.

''Makanlah, Nak, setelah itu beristirahatlah! Bapak yakin kamu pasti lelah setelah seharian mengamen di jalanan,'' ujar sang bapak seraya mencium pipi tirus Mira. Gadis manis ini tersenyum sambil menganggukan kepala. Selanjutnya dia mulai menikmati makanan yang mungkin dia beli di warung seberang sana.

Sungguh, melihat pemandangan ini aku menjadi terenyuh sekaligus terpukul dan tergugah. Di saat banyak orang lain yang sedang berjuang untuk menghadapi hidup, aku malah mengabaikan hidup dan kurang bersyukur. Dari mereka aku jadi sadar bahwa ada hal-hal yang jauh lebih baik dan penting daripada harus terjerembab dengan urusan cinta.

Terima kasih Mira, bukan Miranda, tetapi bocah perempuan itu yang tanpa sengaja membukakan mata hatiku lebar-lebar untuk mengenali apa yang terjadi di sekeliling kita. Semoga aku menjadi pribadi yang lebih peduli, tidak hanya peduli pada diri sendiri, tetapi juga untuk orang lain.

Setetes Madu Pria (SMP Babak 1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang