Bagian 14

1.6K 113 3
                                    

Leo melangkahkan kakinya perlahan memasuki rumah yang lumayan besar dengan ukiran-ukiran yang indah turut menghias rumah mewah itu.

Sedikit menggigil karena kehujanan di tambah lagi baju yang sudah basah kuyub. Tak lupa angin kencang yang turut menyiksa tubuhnya. Leo merasa tubuhnya sangatlah lelah dan kedinginan.

Tangannya yang putih pucat meraih gagang pintu rumahnya dengan mendorong perlahan. Ia hanya was-was kalau omanya marah.

Leo meringis kala membuka pintu dan menampakkan omanya yang berdiri garang tengah berkacak pinggang. Mengintimidasi dirinya dengan tatapan yang sulit untuk di jelaskan.

"bagus ya, udah pulang telat pake ujan-ujanan segala,"

"hehe oma, maafin Leolah oma. Kan tadi Leo udah bilang mau njenguk teman dulu, lah pas pulang hujan deh, jadinya sekalian hujan-hujannan dechh"

"halllah ngeles aja kamu,udah sana mandi nanti kamu masuk angin lagi. Jangan lupa minum obatnya." Leo nyengir kuda sukurlah omanya itu tidak marah.

Leo melangkahkan kakinya ke kamarnya untuk membersihkan badannya sekaligus mau istirahat sebentar. Hari ini benar-benar melelahkan.

Setelah membersihkan tubuhnya Leo berniat turun untuk mengisi perutnya yang sudah keroncongan padahal tadi dia sudah makan di rumah Ryan. Herannya ia malah laper lagi. Padahal sebelumnya ia tak pernah seperti ini.

Di meja makan sudah ada oma sama opanya yang juga sedang makan. Seperti biasa, makanan sesuai kebutuhan Leo.

"Leo, duduk sini" oma langsung mengambilkan nasi dan juga beberapa lauk kesukaan Leo dan menyodorkannya ke arah Leo yang sudah duduk di samping opanya.

"Leo... Mau sampai kapan kamu menghindar dari mereka. Terutama Keinan, mau sampai kapan kamu mengacuhkannya" Leo menghentikan acara makannya.

Mendengar nama keluarganya, rasa lapar Leo menghilang entah kemana. Ia benar-benar muak jika sudah membicarakan ini.

" kamu harusnya sudah bisa terima ini, bagaimanapun ini sudah takdir"
Leo masih tak bergeming dari tempatnya duduk.

Kepalanya menunduk menahan bulir-bulir air matanya yang memaksa keluar dari pelupuk matanya. Leo masih belum bisa menerima takdirnya.

Opanya tidak tahu betapa berat hatinya saat ia harus menerima takdir yang pahit itu. Opanya tak tahu betapa menderitanya dia selama ini.

Keluarga?.

Leo rasa ia tidak punya keluarga lain selain kedua orang tua di depan ini. Biarlah dia menjadi pengecut untuk kali ini, nyatanya orang yang ia anggap keluarga justru membuangnya.

"aku mau kekamar dulu" leo berdiri dengan sedikit bertumpu pada sisi meja makan. Dadanya sesak dan Kakinya begitu lemas untuk ia langkahkan.

"duduk Farel, opa belum selesesai bicara"

"udah lah opa, aku udah gak mau dengar apapun lagi tentang mereka. Keluarga yang Harusnya bisa memberikan kasih sayang justru membuang aku ke kalian berdua. Dan jangan sebut-sebut nama anak itu di depan ku lagi, karena anak itu udah membuat Farrel terasingkan dari keluarga farel sendiri. Satu lagi jangan pernah sebut nama itu lagi dan jangan paksa Leo buat terima mereka begitu saja".Leo melangkahkan kakinya untuk pergi.

Braakkk

"FARELL!"

Leo berjengkit kaget, opanya berteriak di depannya dan menggebrak meja makan hingga menimbulkan suara yang cukup nyaring. Leo meremat dada kirinya yang kembali nyeri.

Bruuukkk

"FARELL! " pekik oma, sedangkan opanya masih membeku di tempatnya 'apa yang sudah ia lakukan'

Leo limbung ke lantai dengan nafas yang tersenggal. Sesak itu begitu mencekik dadanya. Rasa panas menjalar di dadanya bahkan ia tidak bisa meraup oksigen yang seolah menjauh darinya.

Oma dan opanya begitu panik, melihat Leo yang sudah terkapar di lantai. Oma langsung menepuk-nepuk pipi leo dan juga memanggil-mangil namanya berharap anak itu tetap sadar.

Tapi justru mata Leo kian menutup rapat dengan nafasnya yang masih tersenggal. Leo kembali kalah oleh penyakitnya. Ia memilih mengistirahatkan tubuhnya juga batinnya. Mungkin disana ia tidak merasakan kesakitan meskipun sendirian.

Mereka langsung membawa Leo ke rumah sakit dengan bantuan pak Samin supir di rumah itu.

Sesampainya di rumah sakit, Leo langsung di tangani oleh beberapa dokter dan juga perawat yang bertugas di rumah sakit itu.

Beberapa perawat mendorongnya dan ada yang memompa ambu bag untuk memasok oksigen ke paru-paru Leo.

Setelah menuggu beberapa jam, akhirnya dokter yang menangani Leo keluar dengan wajah lelahnya.

"bagaimana keadaan cucu saya dok? " cerca oma yang begitu tampak khawatir bahkah buliran air mata tiada hentinya membanjiri pipi keriputnya.

"apa sebelumnya pasien mempunyai trauma terhadap suatu kejadian yang membuatnya terguncang? "

Pertanyaan dokter itu membuat mereka tercengang, trauma masa kecilnya kambuh.

Kekerasan dan bentakan oleh ayahnya begitu meninggalkan goresan luka yang mendalam di psikis anak itu. Sehingga ia trauma dengan kekerasan dan bentakan.

Dokter Andre menghela nafasnya. Mendengar penjelasan dari kedua orang di hadapannya kini. Padahal beberapa hari yang lalu ia sudah mewanti-wanti kedua orang ini untuk menjaga Leo.

Ia bahkan masih tak percaya, padahal beberapa saat yang lalu ia masih bisa melihat anak itu tertawa dan memberungut kesal saat dirinya mengancamnya.

Hingga tadi tiba-tiba ia mendapatkan panggilan dari rumah sakit bahwa pasien nakalnya collaps. Dokter Andre langsung pergi begitu saja meninggalkan Ryan dengan kedua temannya dengan bingung.

"Leo seperti punya trauma terhadap sesuatu dan itu yang membuatnya collaps.bahkan jantungnya tadi sempat berhenti. Itu di karenakan tekanan pada psikisnya dan juga kondisi tubuhnya yang demam tinggi. Tapi untunglah cucu anda kuat, jadi kondisinya sekarang sudah membaik. Kalian boleh menemuinya setelah pasien di bawa ke ruang inap" jelas panjang lebar dr. Andre.

Oma tak bisa membendung lagi segala kesedihannya. Ia hampir saja kehilangan cucu yang telah ia rawat sejak kecil.

Dalam hatinya ia berjanji tidak akan mengungkit kejadian beberapa tahun silam yang membuat cucunya harus mengalami trauma berat.

Begitupun dengan opa, ia menyesal telah membentak cucunya itu. Ia berjanji akan menjaga cucunya itu lebih baik lagi mulai sekarang..

Setelah di pindahkan ke ruang rawat biasa, Farid dan Salma langsung menghambur ke arah Leo yang tengah memejamkan matanya.

Wajahnya pucat dan juga hawa panas langsung menguar saat punggung tangan Salma menyentuh dahinya. Hidungnya terpasang oksigen mask untuk membantunya bernafas.

Kancing baju rumah sakit Leo terbuka menampilkan dada yang sudah dipasangi elektroda yang langsung tersambung ke EKG.

"maaf saya akan mengompres saudara Leo, supaya panasnya turun. Sebenarnya kami sudah memberikannya paracetamol, tapi panasnya tak kunjung turun" jellas suster Rosa yang di tangannya membawa baskom berisikan air hangat untuk mengompres Leo.

"biar saya saja sus" tawar Salma yang langsung disanggupi oleh suster Rosa. "baiklah kalau begitu saya permisi dulu. Kalau ada apa-apa segera panggil saya ataupun dokter" ucap suster Rossa yang segera pamit.

"maaf seharusnya aku gak berbicara seperti itu tadi, harusnya aku bisa mengontrol emosiku" ucap Farid mengeluarkan segala beban rasa bersalahnya.

"sudahlah tidak ada yang perlu di sesali lagi, kita juga seharusnya mengerti perasaan Leo. Tidak mudah baginya melewati semua ini dan kita gak boleh membebani fikirannya" Farid menyetujui ucapan Salma istrinya. Memang seharusnya mereka yang harusnya paling mengerti Leo.


Bersambung....

Like Rain Like MusicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang