Bagian 38

1.2K 91 5
                                    

Keinan menuruni tangga dengan seragam sekolah yang sudah melekat dengan apik di tubuhnya juga tas hitam yang menggantung di bahu kanannya.

Pandangannya beralih ke meja makan di situ Sandi sudah duduk dengan koran di tangannya, dan rena yang sibuk dengan masakannya.

"ohh sayang kamu sudah bangun , sini nak sarapan dulu" hatinya mencelos mendengar suara Rena yang penuh dengan kelembutan itu.

Apa sebegitu lemahnya dirinya hingga semua orang membohonginya tentang keadaan kakaknya.bahkan mereka memperlakukannya seperti orang bodoh selama ini.

Keinan melangkahkan kakinya keluar, membanting pintu dengan keras. Tak ia pedulikan tatapan bingung dari kedua orang tuanya.

Ia hanya muak dengan tingkah mereka yang seolah semuanya baik-baik saja, begitu apik mereka menutupi kebongan yang seharusnya ia tahu.

Keinan melajukan mobilnya melewati pintu gerbang mengabaikan teriakan Rena yang menyuruhnya berhenti.

Sementara Rena menatap heran mobil yang di kendarai Keinan yang semakin melaju jauh.

Apa yang telah terjadi selama ia pergi keluar kota, memang Rena dan Sandi pulang larut malam kemarin.

Awalnya Rena merasa aneh saat ia pulang langsung mengecek ke kamar Keinan tapi pintu itu di kunci dari dalam. Biasanya Keinan tak pernah mengunci kamarnya.

Begitu sampai di sekolah Keinan memarkirkan mobilnya di tempat parkiran sekolah. Saat ia membuka pintu mobilnya pemandangan pertama kali yang ia lihat adalah Leo yang duduk di atas motornya tengah tertawa bersama ketiga sahabatnya.

Sudah menjadi kebiasaan keempat sahabat itu untuk nongkrong di parkiran sebelum bell masuk.

Keinan memandang lamat wajah kakaknya, tampan seperti Sandi papanya. Mungkin Leo adalah titisan Sandi saat ia masih muda.

Wajahnya yang putih bersih tertimpa sinar matahari pagi menambah kesan tampannya. Bagi Keinan wajah kakaknya bagaikan senja, selalu memberikan ketenangan karena itulah ia sangat menyukai senja. Karna hanya dengan melihat senja ia bisa membayangkan wajah kakaknya yang tersenyum kepadanya.

Tatapan mereka beradu namun hanya beberapa detik sebelum Leo mengalihkan tatapan ke arah lain. Sementara Keinan tertawa miris.

Leo cukup peka sebenarnya. Ia ingin menyapanya tapi tatapan mata Keinan adalah kelemahannya. Tatapan yang selalu membuatnya luluh. Tatapan yang masih sama seperti saat mereka kecil dulu.

"mau sampai kapan lo terus memandang punggungnya tanpa mau menyapanya?" Leo mengedikkan bahunya menanggapi pertayaan Zein.

"ck ck lo emang keras kepala melebihi batu marmer"

"masa... lagian sejak kapan tulang tengkorak menjadi batu marmer". Zein memutar bola matanya jengah tak habis pikir dengan sahabat satunya itu.

"semerdeka lo aja lah, gue capek harus berdebat sama orang kayak lo"

"siapa juga yang mau berdebat, lo duluan yang mulai"

"gue gak mulai duluan, lo nya aja yang terlalu sensian."

"lo kok jadi nyolot sih"

"lo pikir gue  kodok yang suka nyolot"

"kalau muka lu sih udah mirip" Zein mengeram marah, seenak jidatnya aja orang imut kayak dia di bilang kodok.

"awas lo ya Leo MONYET" zein berlari mengejar Leo yang sudah ngacir menuju ke kelas.

Sementara Reon dan Ryan terkekeh  melihat Zein memiting leher Leo dengan susah payah karena tubuh Zein yang hanya sebatas bahu Leo

Like Rain Like MusicTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang