izma

254 15 1
                                    

Aku masuk ke rumah. Ada Nathan dengan beberapa temannya. Aku masuk ke rumah dan langsung masuk ke kamarku.

Aku menyimpan tas dan jaket di ujung dekat pintu dan aku langsung menjatuhkan di kasur.

Ah, aku lupa Chelsea. Dia tak jadi kesini karena ibunya menelponnya untuk pulang.

Pikiranku langsung tertuju pada Izma. Bisa bisanya dia bertemu denganku di loksyut tapi sama sekali nggak bicara padaku.
Aku berulang kali melihat layar handphone. Menunggu chat dari FB atau apakah itu dari Izma.

Nihil.

Aku menarik bantal dan menutupi mukaku dengan bantal.

Aku kembali memutar lagu dari Romi.

Sayang,
kamu tahu apa arti takdir?
Takdir adalah goresan pena yang mengisahkan kita.

Kamu tahu apa arti nasib?
Nasib adalah goresan tinta yang mengisahkan kita.

Kamu tahu apa bedanya takdir dengan nasib?
Aku dan kamu.

Sayang,
Mungkin kamu tak mengerti, tapi aku akan menjelaskannya seperti saat kamu menjelaskan tanpa sengaja betapa berharnganya kamu bagiku.

Sayang,
Kamu tahu? Hari tua pasti akan datang.

Akan terlihat unik dengan rambut yang mulai memutih.
Akan terlihat menarik dengan seorang pria disampingmu di hari tuamu bersama anak anakmu.

Tapi orang itu bukan aku. Karna kamu seperti takdir, dan aku nasib. Berbeda dan tak akan bisa disatukan.

Sayang,
Kurelakan dirimu kasih bersama yang lain, dan kamu harus merelakan aku pergi.

Aku izinkan kamu berjalan dengan pilihanmu, dan aku akan berjalan di jalan bersebarangan.

Mungkin ini terdengar egois, tapi jujur.

Aku ingin kamu ada disini menemaniku. Tapi jangan!
Aku tak akan mengizinkanmu mendekatiku saat ini, dan sampai nanti, sebelum kau bahagia bersama pilihanmu.

Didalam sunyi, dengarlah aku yang selalu menyanyi untukmu.
Didalam tangis, percayalah aku sedang memelukmu.
Didalam mimpi, ingatlah. Aku adalah bagian dari itu.

Sayang. Hanya satu pintaku.
Berbahagialah...

Aku menangis mendengarnya. Seharusnya aku nggak mutusin Romi, seharusnya kami nggak bertengkar dan seharusnya aku merelakan saja Romi pergi ke luar negeri.

Seandainya aku bersikap tenang mungkin kecelakaan itu tak akan terjadi.

Aku tak akan kehilangan Romi dan semua akan baik baik saja seperti apa yang kami inginkan.

Tapi semua terlambat.

"Romi" ucapku lirih di sela tangisanku.

Aku menghela nafas lalu duduk di depan cermin melihat diriku sendiri.

"Bodoh!" Teriakku memukul cermin rias yang terpaku di tembok dengan tanganku hingga pecah dan membuat tanganku berdarah.

Darahnya menetes ke lantai dan aku tak peduli.

"Nia. Ada telpon" ucap Nathan. Aku keluar kamar. Nelpon ke telepon rumah? Jarang jarang.

"Siapa?" ucapku. Nathan mengangkat bahu lalu menyerahkan gagang telepon padaku. Rasanya aneh memegang beda seperti ini.

Izma [ TAMAT ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang