"Kamu jangan takut hadapi lawanmu nanti ya? keluarkan semua kemampuanmu jagoan" kata-kata Regina itu bukan hanya mensupport anak kecil di sampingnya tapi mengurangi rasa gugup.
Dua puluh menit sebelum jadwal tanding Dave, Wilmar kembali dengan kaos putih bergambar abstrak hitam abu-abu di bagian depan, dan celana jeans membuat ketampanan cowok berkulit putih dan hidung mancung itu semakin kentara.
Seperti biasa setelah pertandingan, Wilmar dan kawan-kawannya segera membersihkan diri dan berganti pakaian. Harum shampoo atau mungkin itu minyak wangi (Regina belum bisa membedakan), tercium Regina saat Wilmar duduk disampingnya.
"Ade sudah siapkan?" tanya Wilmar tersenyum ke arah Dave
Dave mengangguk
"Kakak menang?" tanya Dave.
Wilmar mengangguk tersenyum.
"Kakak pacarnya Aunty?"
Regina kaget mendengar pertanyaan ponakannya, sedangkan Wilmar terkekeh.
"Bukan"
"ia"
Regina menjawab "bukan" sedangkan Wilmar menjawab "ia" sehingga membuat Dave bingung.
"Sepakat dulu deh, baru jawab" kata Dave berlagak orang dewasa sambil melihat kedua orang disampingnya.
"Iiih, anak kecil ngak boleh bilang begitu" Regina mencubit pipi ponakannya.
Setelah mendengar pengumuman di pengeras suara, Regina membetulkan pakaian ponakannya.
"Siap-siap sayang?, itu nama kamu di panggil"
"Semangat jagoan"
Setelah menatap Dave yang bergabung dengan tim nya, Wilmar bisa melihat rasa gugup di mata indah Bu Gurunya, yang kadang-kadang berkedip cepat. Sesekali Regina menggosokkan kedua tangannya, mengunci tangannya sambil mengucap doa dan menutup kedua telapak tangan di depan hidungnya.
"Ibu ngak lupa bernafas kan? coba tarik nafas panjaaaang, sekarang lepas perlahan" Wilmar mencoba menenangkan Regina. Dan entah kenapa Regina menurut saja sambil menutup matanya.
Deg, jantung Wilmar berdegup kencang melihat Bu Gurunya, ini kedua kalinya ia duduk cukup dekat dan bicara bebas dengan Regina seperti orang yang sudah lama ia kenal.
****
Tiga tahun terakhir Wilmar mencoba menjaga jarak dengan orang yang dia kenal apalagi yang baru dia kenal. Sejak kematian ibunya, tidak banyak orang yang memahaminya bahkan ayahnya sendiri, hanya Oma Sali tempatnya berbagi.
Entah kenapa dia terus memperhatikan Regina sejak pertama melihatnya di depan kelas, bukan karena mirip ibunya, atau mirip mantan pacarnya atau mirip orang-orang pernah dia kenal tapi karena kalimat-kalimat motivasi atau sekedar candaan yang sering dilontarkan Regina di sela-sela pelajarannya, sangat menghibur Wilmar.
Flashback 2 bulan lalu
Pertama kali masuk ke kelasnya, Wilmar merasa Regina bisa membaca kesedihan dimatanya.
"Mulai tahun ajaran baru jangan kebanyakan sedihnya ya? Harus semangat, ini tahun pelajaran terakhir kalian sebagai siswa. Kalau ingin menangis, airmata tidak perlu ditahan, atau berdiri terbalik seperti Huace Lei di Meteor Garden kalau tidak kuat jadinya langsung ke tukang pijat lagi.." Kata Regina
"Malu Bu,apalagi cowok" kata seorang siswa
"Tidak usah malu, malu itu kalo menyontek sampe titik koma, terlambat ngak pilih-pilih hari (maksudnya tiap hari), pinjam pulpen teman tidak dikembalikan esoknya pinjam lagi" kata-kata itu disambut suara tawa oleh beberapa siswa
"Nah ketahuan kan siapa orangnya yang sering begitu, sudah pasti yang suara tawanya paling kuat" Regina melanjutkan. "Menangis saja terus, nanti stok airmata kalian habis, sedihnya pasti ilang"
(hehehe...Reader ada yang ketawa juga kan? Mudah-mudahan bukan pengalaman pribadi seperti siswanya Regina)
KAMU SEDANG MEMBACA
Bocah itu CEO ? - END
Teen FictionIni cerita pertama saya, coba-coba menulis semoga dapat respon positif dari Reader. Saya pastikan ini murni imajinasi saya, bukan plagiat ya.. ********* Menjadi guru matematika SMK di usia 21 tahun dan mengajar siswa yang hanya terpaut 3-5 tahun da...