7. Harapan Kosong

2.2K 114 8
                                    

****
Raka menyangga dagu sambil menoleh ke arah jendela mobil manajernya yang sedang melaju di tengah kota. Sesuatu yang dia lewati satu persatu mengingatkannya pada masa lalu. Dia melewati sekolah SMA-nya, pun kompleks tempat dirinya tinggal dahulu. Pantulan di jendela terasa lebih menarik dibanding mengajak Dodi mengobrol membahas pekerjaan. Dirinya benar-benar butuh tidur tapi tak bisa tidur karena terlalu bising dan tidak nyaman.

Nadia, gadis yang sudah tumbuh sangat dewasa di banding saat terakhir kali Raka melihatnya mengenakan seragam SMA. Nadia banyak berubah termasuk caranya memandang dirinya. Nadia terlihat cantik dengan kerudung panjang, gaun gombrong yang tidak mencetak tubuhnya, make up tipis dan bibir ranum merah. Raka tersenyum kecil memikirkannya. Dari penampilannya, Nadia sudah sangat dewasa sekarang.

Semuanya berubah, kota kelahirannya, statusnya, dan Nadia. Sialnya, satu yang tidak berubah. Perasaannya.

Raka terlalu jahat jika mau kembali merangkum Nadia setelah apa yang dia lakukan padanya. Tujuan utamanya hanya ingin mendapat maaf. Itu saja. Nadia harus memaafkannya, agar Raka bisa hidup tenang. Setidaknya tidak akan ada rasa bersalah yang dia pendam setiap malam selama 6 tahun karena sudah meninggalkan gadis itu tanpa sepatah katapun. Ia hanya ingin menebus rasa sakit Nadia dengan memohon ampun darinya.

"Ka!"

Dodi memanggilnya dari jok kemudi. Melirik kaca spion dan memastikan Raka tidak tidur selama perjalanan.

"Hah? Sorry, tadi apa?" Raka menyahut seadanya.

"Kubilang, kamu boleh pulang kunjungi ibumu. Besok jadwalmu kosong. Sebelum lusa kita pulang ke Jakarta." Katanya mengulang.

"Oh okay." Raka menyanggupinya. "Lalu tindaklanjut kerjasama kita gimana?" Raka menambahi. Ia baru ingat tentang kontraknya selama setahun untuk mempromosikan produk perusahaan yang baru disepakati itu.

"Syuting produknya mulai minggu depan. Lagipula minggu ini kamu harus syuting drama barumu sama Marissa." Dodi membagi konsentrasi menyetirnya sambil sesekali melirik Raka yang duduk di jok belakangnya.

Raka tidak menjawab dan hanya memalingkan wajahnya ke arah jendela lagi. Tangannya memegang pelipis sambil memijatnya di bagian kiri.

"Pastikan nggak ada skandal-skandal lagi antara aku sama Marissa." Pintanya. Dodi melirik sejenak lalu memperlambat laju mobilnya.

"Lho, kenapa? Kalian terlihat serasi kalau jadi pasangan. Bakal jadi headline berbulan-bulan kalau kamu sama Marissa beneran pacaran." Dodi menanggapinya setengah bercanda. Pria diawal 30 tahunan itu tertawa tapi tak mengundang tawa Raka.

"Dia sudah seperti Adikku." Raka menghela nafas. Menyadari kabar yang sedang beredar luas mengenai hubungannya dengan lawan mainnya di beberapa judul sinetron.

"Media nyangkanya kamu dan Marissa punya hubungan khusus. Biarkan saja dulu seperti itu. Jangan berikan komentar apapun kalau wartawan ada yang nanya." Dodi menegaskan. Ia kembali menginjak pedal gas mobilnya dan segera melesat mengabtar artisnya ini ke rumah ibunya.

Sedang Raka hanya kembali menghela nafas sambil menatap ke arah jendela. Seperti sedang mencari sesuatu dari pantulan di kaca jendela mobil itu. Raka beberapa kali memejamkan mata, mengusir amarah yang mulai menguasai hatinya.

"Terserah sajalah." Katanya pasrah. Ya mau bagaimana lagi, risikonya mau terjun ke dunia keartisan itu ya begini. Rela diperbudak demi popularitas.

****
Nadia menggosok CPU komputernya yang tiba-tiba mati padahal pekerjaannya hanya tinggal finishing. Ia ingin sekali mengumpat karena komputernya mati. Perutnya sudah bergerak naik ke atas sampai membuatnya mual. Sudah 10 menit lewat dari jam makan siang, tapi Nadia harus bersabar sampai memastikan file miliknya di transfer dengan sempurna.

Untuk DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang