26. Email vs Sujud terakhir

1.4K 111 19
                                    

****

Setelah menempuh perjalanan cukup melelahkan, Nadia dan Adi tiba di Semarang tepat sebelum dzuhur. Di bandara, keduanya di jemput Khalid dan Adena yang sembari menggendong Aisyah. Khalid dan Adi duduk di depan, sedangkan Adena menemani Nadia duduk di bangku belakang bersama Aisyah.

Meski ini adalah pertemuan kedua, Nadia tidak merasa dua manusia itu asing baginya. Adena dan suaminya memperlakukan Nadia dengan sangat baik, sampai ia sendiri lupa bahwa mereka baru bertemu dua kali.

"Kamu pernah ke Semarang sebelumnya, Nad?"

Adena menoleh ke arah Nadia yang sibuk merekam perjalanan dengan ponselnya.

"Ini yang pertama, mbak." Nadia menyahut bersemangat. Sambil mendekatkan kamera ponselnya ke wajah Aisyah di pangkuan ibunya.

"Dan In shaa Allah akan ada kedua, ketiga dan selanjutnya ya Dik." Khalid menyahut dari jok depan sambil menyetir. Sesekali melirik Adi yang duduk di sebelahnya.

Adi sesekali menoleh ke belakang, melihat wajah Nadia yang berbinar memandangi jalanan ramai kota Semarang. Ia diam-diam menyunggingkan senyum tapi tak berani menyapa, mengulum senyumnya dalam-dalam sampai jantungnya berdebaran.

"Mas punya koyo?" Adi berbisik beralih pada Khalid yang menyetir.

"Koyo? Kenapa?"

"Bahuku sering pegal dan kram."

Adi memutar engsel lengan bahunya perlahan. Merasakan ngilu dan kebas yang akhir-akhir ini sering ia rasakan di lengan atas bagian kiri. Mungkin terlalu banyak pekerjaan sampai ia tak memerhatikan kesehatan.

"Masih mudah sudah asem urat kamu." Khalid meledek. Pria usia 30-an itu hanya menggeleng pelan sambil menertawakan Adi yang masih mengusap lengan bahunya. Lagi-lagi ia menoleh ke arah Nadia yang tampaknya menahan tawa tapi pura-pura tidak tahu.

"Nanti kamu tinggal sama ibu ya Nad. Adi nginep di rumah mbak. Biar nggak ada fitnah." Adena mengalihkan lagi pembicaraan.

"Iya mbak." Nadia mengangguk mematikan ponsel setelah selesai merekam.

****

Raka mengesak rambutnya frustrasi. Ia jatuh terduduk setelah ayah dan ibunya datang membawa kesimpulan. Ia berpikir ulang dan mencari pembenaran dari keputusannya menerima syarat Marissa. Raka terpaksa, sangat terpaksa. Tidak sedikitpun awalnya ia akan mengakui kesalahan yang tidak ia lakukan, tapi jiwa kemanusiaannya tetap tergerak melihat Marissa yang juga sepertinya sudah kehilangan kepercayaan diri.

Raka seperti pria yang lemah. Ia bahkan tidak punya daya atas keputusannya. Dengan bodoh dirinya datang pada ayah dan ibunya, mengaku akan menikahi Marissa dalam waktu dekat untuk menyelamatkan semua pihak. Tanpa tau bahwa hatinya sudah remuk tak berbentuk. Hatinya belum siap merelakan gadis yang ia cintai memilih pria lain, lantas kini juga harus merelakan dirinya terkungkung  tittle keartisan.

Rasanya hidup seperti tidak adil. Raka ingin bergerak mengambil ponsel di atas meja. Sedetik kemudian, aplikasi adzan yang baru semalam ia pasang berbunyi. Suara adzan yang langsung membuatnya limbung. Raka menangis seperti bayi mendengar adzan berkumandang dari aplikasi. Menyadari dirinya terlalu jauh pada Tuhan.

Raka tersedu-sedu. Sampai adzan berakhir, ia baru bisa bangkit lagi. Berdiri tegak menghadap cermin besar di kamarnya. Ia tahu, alasan Allah tidak memberikan keinginannya. Karena ia juga tidak berusaha mengejar Allah. Malah sibuk dengan urusan duniawi saja. Karir, drama, iklan. Dan lupa caranya meminta pada Sang Pencipta.

Ia pernah dengar di salah satu kajian yang pernah ia datangi, jika ia mengejar dunia, maka dunia semata yang ia dapat. Namun jika ia kejar Allah, dunia dan isinya Allah berikan. Raka terlalu mencintai dunianya, tapi lupa akan Tuhan-Nya.

Untuk DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang