****
Adi menyetir mobilnya cukup lambat. Suasana keluar kantor yang macet dan penuh. Ia melirik Nadia yang duduk di sebelahnya sambil memainkan ponsel. Lalu berdehem memecah suasana yang makin hening. Nadia hanya menoleh dan bertanya ada apa, tapi Adi menggeleng pelan.
Suasana belum terlalu sore, selepas pulang kantor jam 3, ia sengaja mengajak Nadia keluar bersama. Menemui beberapa WO yang ia hubungi untuk menetapkan pilihan konsep pernikahan. Dan sekarang setengah 6 sore, keduanya masih duduk terjebak macet padahal jarak rumah Nadia kurang dari 1 kilo lagi.
"Jadi gimana, kamu suka sama pilihan WO tadi?" Adi akhirnya mulai bicara. Sesekali menoleh Nadia yang ikut menoleh ke arahnya dan melesakkan ponsel ke dalam saku.
"Pilihan kedua." usul Nadia bersemangat. Ia mengingat konsep yang akhirnya menjadi kesepakatan sesuai keinginan Nadia dan Adi. Termasuk gaun dan kebaya untuk akad.
"Cocok." Adi menyahut dan menyetujui sambil tersenyum. Sebenarnya perihal persiapan, sudah ia dan Nadia bicarakan saat di Semarang bersama keluarga besarnya. Hanya saja, ia tetap butuh memastikan pilihan Nadia sudah final.
Adi ingin kembali memulai bicara, tapi jantungnya belum kondusif. Lagipula, Nadia juga sepertinya terlihat agak canggung duduk berdua. Padahal sebelum memutuskan untuk menikah, gadis itu adalah sosok ceria yang selalu berkomentar tentang apa yang ada di sekelilingnya. Tapi sekarang, ia seperti kehilangan sebagian kepercayaan dirinya jika sedang bersama. Apa karena canggung? Atau Adi yang tidak pintar menghangatkan suasana.
"Ashhh.."
Lagi-lagi lengan kirinya berkedut, seperti kram dan kaku. Adi memperlambat laju mobil. Sedikit memijat pergelangan tangannya. Nadia yang mendengar Adi mendesis, menoleh spontan. Lalu bergerak menghadapnya dengan khawatir.
"Kenapa mas?" Nadia menoleh dan melirik pergelangan tangan Adi yang dipijat kecil di atas setir.
"Nggak, cuma kram biasa kayaknya." Adi menggeleng. Ia melihat raut wajah Nadia ysng berubah khawatir taoi juga tampak bingung. Diam-diam ia tersenyum, sekhawatir itu kah?
"Sejak di Semarang mas sering kram. Apa nggak sebaiknya periksakan ke dokter?" Nadia mencoba mengusulkan saran. Ia jadi sedikit khawatir kesehatan Adi akan terganggu. Apalagi, tanggal pertunangan keduanya sudah dekat.
"Nggak usah khawatir, Nad. Aku sudah siapkan obat kramnya kok. Kayaknya gara-gara kurang olahraga." Adi terkekeh dan tersenyum lebar. Kembali melajukan mobil dengan kecepatan konstan setelah belokan menuju komplek rumah Nadia.
Nadia hanya mengernyit dahi. Lalu mengangguk bersyukur jika memang itu hanya kram biasa.
"Sudah mau maghrib, mau mampir shalat dulu atau?" Nadia memberikan pilihan setelah mobil Adi berhenti karena sudah tiba di depan rumahnya.
Adi melirik jam tangannya. Kurang dari 10 menit lagi adzan maghrib berkumandang. Ia menimbang sejenak, kemudian menggeleng pelan.
"Aku sholat di masjid depan komplek aja. Sampaikan salam sama ibu dan Dania ya." Adi menolak halus. Membiarkan Nadia membuka seatbelt yang mengekang bahu hingga perutnya.
"Ya udah, hati-hati ya mas." Nadia keluar dari mobil. Berdiri tepat di depan gerbang sambil tersenyum. Adi sempat membuka jendela, melambai dan meminta Nadia segera masuk. Tapi gadis itu menolak dan hanya akan masuk setelah mobil Adi keluar dari perempatan gang.
"Assalamualaikum." Adi kemudian menutup kaca mobilnya sambil tersenyum. Melajukan mobilnya lagi sampai hilang di perempatan.
"Waalaikumussalam." sahut Nadia pelan. Ia tersenyum sampai mobil Adi benar-benar lenyap dari pandangannya. Barulah setelah itu masuk ke dalam halaman rumah yang di sekat gerbang bercat hitam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
Roman d'amour[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...