****
Tepat hari senin, setengah 7 pagi. Adi sudah bersiap dengan kemeja dan dasi. Setelah libur 5 hari dan pulang dari Semarang kemarin sore, ia harus kembali pada rutinitasnya. Tas jinjing berwarna hitam yang tak pernah ia tinggal, lengkap dengan kunci mobil bertanda dompet kulit ia bawa menuju teras. Hari ini, selain pekerjaan akan banyak pertanyaan yang harus ia jawab di kantor.
Adi melirik tas hitamnya, lalu membuka resletingnya. Mencari keberadaan kantong hitam yang ia siapkan semasa di Semarang bersama Nadia.
Undangan sederhana pertunangan mereka.
Pria itu tersenyum lebar. Membayangkan sesuatu yang menyenangkan tiba-tiba membuat perutnya geli. Ia merasakan pergerakan jantungnya yang berlebihan, keringat dingin, pipi memanas dan bahu yang pegal. Apa semua pria yang akan menikah juga mengalami hal yang sama?
Sekalian membuka tas, Adi merogoh ponsel. Mencari nama Nadia di layanan pesan online. Lalu mengetik sesuatu demi memastikan gadis itu juga sudah siap kembali bekerja hari ini. Sesuai kesepakatan selama di Semarang, ia dan Nadia akan mulai mempublikasikan hubungan mereka mulai sekarang. Walaupun agak sedikit aneh, tapi ia rasa itu penting. Agar satpam-satpam genit di kantor tak lagi mengganggu Nadia.
Setelah memanaskan mobil, ia bergegas dengan tas dan kunci mobil. Hari senin akan menjadi jari yang melelahkan.
Bruukk..
Adi terdiam spontan. Tas dan kunci mobil yang ia jinjing di tangan kiri luruh dan jatuh ke tanah tanpa ia sadari. Untuk sesaat jantungnya berdebar namun kembali normal. Pria itu merasa akhir-akhir ini ada yang tidak beres dengan pergelangan bahu kirinya. Ia memutar engsel bahu. Tidak ada rasa selain ngilu dan kram.
"Astaghfirullah." ucapnya sambil memijat pelan bahu hingga lengan.
Adi belum mau meraih tas dan kunci di bawah kaki. Ia masih memijat lengannya yang kram sampai agak sehat dan kembali seperti semula. Ini akan berbahaya kalau ia menyetir mobil dalam keadaan bahu yang cedera.
Setelah memijat 5 menit, pria itu seperti kembali mendapat kekuatan di lengan bahunya. Ia bergegas meraih tas dan kunci, lalu masuk ke dalam mobil. Sebelum dirinya terlambat datang ke kantor.
Mungkin, Adi hanya terlalu lelah.
****
Nadia tiba di kantor 15 menit sebelum jam absen. Ia sempat menunggu di parkiran sebelum masuk ke dalam kantor. Adi tadi sempat mengabari ia sudah dalam perjalanan. Mungkin akan lebih nyaman kalau ia membagikan undangan -yang jumlahnya sedikit- itu bersama-sama dengan Adi.
Nadia tersenyum senang. Melirik tasnya yang berisi 2 undangan berwarna cokelat. Hanya undangan pertunangan mereka akhir bulan ini. Pun hanya rekan-rekan dekatnya yang ia undang karena memang hanya acara keluarga. Biar saja, rekan lainnya akan ia undang di pernikahannya saja.
"Nadia?!"
Ia menoleh spontan dan menutup kantong hitam dalam tasnya.
"Eh, Dil. Assalamualaikum." Nadia menoleh ke arah gadis itu yang sepertinya baru tiba di kantor.
"Uhh Waalaikumussalam." Dila menghampirinya dan hampir memeluk. "Sholehah sekali balik dari liburan. Kamu habis wisata rohani ya? Hihi"
"Apa sih? Salam itu kan saling mendoakan."
"Uuuh." Dila mengejek dan menggodanya. Gadis itu duduk meletakkan tas jinjing tepat di meja sebelah meja kerja Nadia. "Gimana liburanmu? Kok nggak pernah kirim foto, sih?"
"Maaf. Belum sempat." Nadia tersenyum kecil kembali fokus pada komputer di mejanya. Ia bergerak ke dalam tas dan mengeluarkan salah satu undangan yang ia cetak khusus untuk Dila.

KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
Romantizm[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...