****
Suara riuh ramai mendominasi lorong rumah sakit yang memanjang. Beberapa kali terdengar deritan pintu terbuka-tutup. Derapan langkah lebar terdengar seperti lagu pengantar langkah yang kian lebar. Berlari. Yang ada dipikiran Raka saat ini hanya mengayun kakinya lebih cepat. Sesekali menyerka rambutnya yang berponi tertiup angin dan keringat.
Napasnya memburu. Jantungnya mendengkur keras dan memompa darah secara berlebihan. Sampai-sampai kerongkongannya kering kerontang. Raka lelah tapi tak bisa berhenti sekarang. Ia harus bergegas mencari keberadaan ibunya.
Sampai di hitungan kesembilan, Raka memedar matanya lebih lebar. Sekelebat tubuh ibunya tertangkap netra hitam miliknya itu. Raka ingin berteriak memanggil, tapi takut menganggu pasien lain di lorong.
"Ma," Raka berlari mencengkram lengan Asri.
Wanita paruh baya berkerudung panjang itu menoleh terkejut. Belum sempat matanya memastikan siapa pemilik tangan yang mencengkramnya, ia buru-buru menubruk tubuhnya.
"Kamu kemana saja, Rak? Kenapa susah sekali Mama hubungi?" Asri mendongak menatap wajah Raka yang berkeringat. Pria itu masih berupaya menetralkan jantung.
"Maaf..." Raka menghela napas. "Apa yang terjadi?"
"Mama juga nggak tau. Dokter masih memeriksa di dalam dan belum keluar." Asri menggenggam jemarinya sendiri. Menggosok beberapa kali lalu menempelkannya di dada.
Raka memejam mata sejenak. Menatap pintu kaca besar bertulis IGD dengan lampu merah menyala. Ia ingin masuk ke dalam dan bertanya apa yang menimpa istrinya di dalam sana. Beberapa saat, Raka memutar otak. Apa Marissa mau melahirkan sekarang? Seingatnya, ini baru bulan ke delapan.
Perasaan marah dan kesal yang awalnya menguasai hati meluap begitu saja. Entah, tapi Raka mulai merasakan debaran jantung yang berbeda. Ini perasaan khawatir. Walau bagaimanapun, Marissa masih istrinya. Sebanyak apapun Raka mencoba membenci wanita itu, hati kecilnya tetap punya sisi kemanusiaan.
"Apa jangan-jangan ini alasan Marissa menelpon ku berkali-kali?" Raka mengingat dengan baik sesaat setelah pertengkaran, Marissa mencoba menghubunginya. "Astagfirullah, apa yang kulakukan?"
Raka menutup wajahnya menggunakan telapak tangan. Sekarang Raka hanya bisa berharap, Marissa baik-baik saja di dalam sana.
***
Nadia mengemudikan mobil hati-hati. Dengan bimbingan Adi di samping, wanita itu memilah-milah jalanan yang cukup sepi. Sesekali, ia meminta bantuan suaminya untuk memastikan cara menyetirnya tidak mengganggu pengemudi lain. Maklum saja, Nadia belum punya SIM. Tes yang ia ambil untuk SIM selalu berakhir kegagalan.
"Yang, di depan ambil kiri." Adi menginterupsi. Nadia menoleh sekilas, wajahnya pucat pasi.
"Aku nyesel nggak ikuti saran mu, Mas." Nadia memutar mobilnya ke lajur kiri. "Harusnya aku kursus mengemudi."
Adi menoleh sambil tersenyum kecil. "Kamu harus kursus, terus ikut lagi tes SIM. Kan kalau aku sudah nggak bisa nyetir, kamu bisa ..."
"Mas..." Nadia memotong. Menatapnya tak suka.
Adi lagi-lagi hanya mengusung senyum kecil. Senyum yang bahkan Nadia sendiri tak paham apa artinya.
"Soal hasil tadi, kita simpan berdua dulu ya, yang." Adi meletakkan satu tangannya menelungkup di atas jemari Nadia yang sedang memegang perseneling. Ia menoleh dengan senyum yang lagi-lagi membuat Nadia terenyuh. Matanya yang biasa teduh mulai terasa panas. Ada tatapan kecewa yang bercampur tanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
Romance[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...