10. Berani Melamar

1.9K 118 35
                                    

****

Adi tiba 30 menit sebelum jam masuk kerja dimulai. Ia langsung memarkir motor kesayangannya di tempat favorite di bawah pohon mahoni tua yang cukup rimbun dan tinggi. Berteman motor karyawan lain yang berjejer menepi. Biasanya ia memang parkir di basement, tapi akhir-akhir ini ia lebih suka pemandangan mahoni tua ini dibanding tumpukan motor yang pengap di basement.

Suasana hatinya cukup baik menjelang penghujung minggu. Sambil merapikan jaket kulitnya, ia bersenandung sepanjang jalan menuju kantornya. Ia beberapa kali menegur ramah keamanan yang berjaga. Membercandainya seperti biasa Adi melakukan hal itu setiap pagi. Dia benar-benar pria beraura positif yang dielu-elukan satpam perusahaan.

Tiba di lantai satu, Adi memilih mengunjungi ruangan staffnya sebelum masuk ke dalam ruangan miliknya di pojok. Sekedar memastikan anak-anak kesayangannya sudah tiba di kantor tepat waktu atau belum?

Ujung lorong adalah ruangannya, dan ruangan tempat ia berdiri adalah tempat karyawannya. Sudah hampir penuh, tapi diantara mereka belum ada yang mendekam dalam kursi masing-masing. Masih asik berkeliaran dan mengobrol sambil tertawa-tawa. Adi bahagia, kebahagiaan kecil yang ia dapat hanya dari kebahagiaan karyawannya. Padahal dia tahu, setelah jam kerja dimulai, mereka harus bercapek-capek ria dan hanya sedikit saja tertawa.

Kali ini, ia hanya berdiri diambang pintu. Mengamati karyawannya yang tengah berkumpul menyatu membicarakan sesuatu. Terdengar menyenangkan apalagi sepertinya Nadia adalah tersangka utama yang menjadi bahasan mereka. Dengan Nadia yang duduk di tengah seperti seorang tahanan, dan yang lain mengerumuni. Gadis itu menggeleng-geleng tak suka sambil sedikit tertawa sedang yang lainnya terus asik tertawa. Adi tidak tahu topik awalnya, tapi sepertinya berita ini akan menjadi berita baru yang menarik perhatian seisi kantor.

"Pantes aja, kemarin aku lihat Raka ngobrol sama kamu di toilet!" Salah satu dari mereka menyimpulkan. Nadia lagi-lagi menggeleng dan menyangkah semampunya. Tapi semakin itu ia lakukan, kawan kerjanya makin bertanya.

"Nggak. Kami nggak ngobrol. Dia itu mau ke toilet, kebetulan bertemu." Nadia jelas terlihat menyanggahnya.

Adi hanya mendengar sebagian dari jauh. Yang ia simpulkan dari sedikit yang ia dengar, Nadia dan Raka saling mengenal. Hanya itu saja. Ia ingin mendengarnya lagi dengan berdiri lebih lama, tapi seseorang dengan lancang menepuk bahunya dari belakang. Adi sedikit terkejut dan spontan menoleh ke belakang. Memastikan siapa yang sudah mengganggu konsentrasinya mendengar obrolan itu?

Dan benar saja, Wildan -salah satu anak kepercayaannya di divisi- sedang menyeringai dan bersedekap tangan sambil menatapnya curiga.

"Adi sejak kapan tertarik dengar gosip cewek-cewek kantor?" tanyanya sambil ikut melirik ruangannya.

"Ehh nggak. Tadi cuma nengok sebentar buat memastikan anak-anak aja." Adi bergeser keluar dari ambang pintu. Tersenyum kaku.

"Keliahatannya hari ini Nadia yang jadi sasarannya, Di."

Wildan mencondongkan wajahnya dan berbisik pelan. Tangannya menghalangi sisi wajah agar tak ada yang membaca gerak mulutnya.

"Tadi kamu bilang itu hanya gosip."

"Iya sih. Tapi menarik kalau sampai itu beneran." Wildan menggaruk kepalanya tak gatal. Mengajak Adi berjalan menepi ke ruangannya.

"Memangnya gosipnya apa sih?" Adi hanya memancing. Walau ia sempat mendengar, tapi tak yakin dengan apa yang dia simpulkan.

"Katanya sih, Nadia sama si artis itu kepergok ngobrol berdua di toilet kemarin. Itu cewek-cewek pada heboh kan nanya. Sampe ada yang bilang Nadia itu mantannya si artis." Wildan mengencangkan suaranya begitu tiba di ruangan atasannya. Ia duduk dikursi dekat meja kerja milik Adi.

Untuk DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang