13. Janji Masalalu

1.5K 110 18
                                    

****
Setelah acara lamaran, siapapun harus menyiapkan dan memantapkan hati. Perihal pilihan jalan hidup yang makin dekat dengan rasa. Nadia tidak cukup panjang berpikir perihal kesiapannya setelah ia menerima lamaran Adi. Yang dia pikirkan hanya bagaimana jika ia hidup dengan pria itu di masa depan, terlalu jauh tapi lupa tentang bagaimana caranya ia menghadapi rekannya di kantor jika ada yang bertanya.

Malam setelah lamaran, Adi sempat menelponnya. Meminta agar semuanya dirahasiakan dulu sampai undangan pernikahan selesai di cetak. Walau begitu, ia setuju. Dengan begitu Nadia tidak perlu repot-repot menjelaskan pada rekan kerjanya soal rencana pernikahan. Biar saja mereka tau setelah ada undangan pernikahannya.

Bicara soal pernikahan, Nadia jadi merinding. Sejak kuliah, dirinya bahkan tak berniat menikah diusianya yang ke 23. Dalam rencananya, ia akan menikah di usia awal 30-an setelah punya kehidupan yang menyenangkan. Apalagi sampai berpikir jatuh hati pada kakak angkatannya di kampus? Itu bukan tujuan Nadia yang sebenarnya.

Tapi siapa yang tahu rencana Allah? Tepat kemarin dirinya memantapkan diri untuk menerima lamaran rekan sekantornya. Melupakan prinsip panjang yang ia susun jauh-jauh hari.

Nadia menghela nafas sambil menggenggam dua lembar surat pengajuan cutinya. Ia selesai membubuhkan tanda tangan dan persetujuan pengajuan cutinya selama lima hari. Tinggal memasukkannya dalam amplop, kemudian memberikannya pada si bos kantor.

Lima hari, akan ia gunakan menjelajah Semarang bersama Adi. Selain bertemu keluarganya, Adi bersedia membawa Nadia berkeliling di tanah kelahirannya. Di banding itu, bertemu keluarga besar Adi lebih dari cukup baginya. Cukup membuat jantungnya berdebar secara abnormal sejak semalam.

"Nad, kamu mau cuti?"

Dila menepuk bahunya pelan dari meja sebelah. Melirik surat pengajuan cuti yang dipegang Nadia di tangannya.

"Ehh, iya." sahutnya terkejut. Nadia spontan melipat suratnya dan mencari map yang aman untuk menyembunyikan surat itu.

"Tumben. Mau kemana?" Dila menarik kursi miliknya mendekati Nadia yang berbalik menghadapnya.

"Mau liburan, Dil. Aku kan belum pernah pakai jadwal cutiku." Nadia tersenyum sumringah sesekali menatap Dila bergantian dengan kalender yang berdiri di atas mejanya.

"Ahh curang. Liburan sendirian? Nggak akan ajak aku?" Dila tak terima. Berusaha merebut surat pengajuan cuti dari tangan Nadia jika saja gadis itu tak berkilah.

"A-aku liburan sama keluargaku, Dil."

Dalam hati Nadia meracau. Meminta maaf karena harus berbohong pada Dila soal rencana liburan keluarga.

"Ahh, kenapa kemarin aku ambil cuti duluan ya? Kalo belum kan aku bisa ikut liburan sama kamu." Dila mendesis memukul-mukul pulpen gel miliknya diatas meja. Membuat Nadia mengangguk-angguk pelan sambil menelan saliva diam-diam.

"Lain kali kita bisa liburan sama-sama  kok." timpalnya menenangkan. Nadia tidak sedang bersungguh-sungguh. Dila memang hobi berlibur, dan jangkauan liburannya bukan jangkauan dompet Nadia. Lagi-lagi ia minta maaf dalam hati.

"Berapa hari? Kemana?" Dila masih tak percaya Nadia ambil cuti sendirian tanpa dirinya. Ia ingin merebut surat pengajuan cutinya lagi, tapi Nadia mencegah.

"Cuma lima hari, kok." Nadia tersenyum kaku menatap Dila yang masih menunggu jawaban lain. "Ke Semarang." tambahnya lagi.

"Ke Semarang?"

"Iya." jawabnya.

"Walaupun cuma ke Semarang, tapi aku kecewa karena kamu nggak pergi bareng sama aku." katanya melemah. Suaranya melirih tapi Nadia yakin Dila baik-baik saja. Gadis itu memang hanya tidak mau ditinggal dirinya berlibur. Apalagi dia adalah maniak liburan.

Untuk DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang