****
Raka mengganti baju kaosnya dengan setelan kemeja formal. Setelah menyelesaikan syuting drama yang terakhir, ia melesat kembali ke Bandung. Untuk beberapa bulan ke depan, ia membatalkan semua jadwal syuting yang mengikatnya. Manajemennya beralasan, semua dibatasi untuk mempersiapkan pernikahan dirinya dengan Marissa. Ia hanya pasrah saja. Mengangguk menyetujui apa yang dikatakan mereka-mereka itu. Daripada ambil pusing.
Raka menyisir rambutnya rapih. Kemudian mengenakan jam mahal seharga 3 unit motor di pergelangan kiri. Matanya mendadak panas hingga ia harus memejamkan mata sejenak. Ia menggapai laci meja. Mengeluarkan selembar undangan pernikahan yang ia terima minggu lalu. Undangan manis dari mantan kekasihnya. Hari ini, gadis yang pernah ia miliki itu akan menikah. Bukan dengannya, tapi dengan pria lain.
Raka mengerjap mata beberapa kali. Haruskah dia datang ke pernikahan itu lalu mengacau? Ia pernah memerankan sosok jahat perusak rumah tangga di dramanya, apa perlu ia praktikan itu hari ini?
Raka menggeleng kecil sambil mengusap kepalanya. Ada perasaan sakit dan tidak terima. Tapi apa boleh buat. Ia dan Nadia tidak ditakdirkan bersama. Nyatanya, Nadia menikah dengan pria lain. Pun dengannya yang akan menikah dengan wanita lain.
"Mau kemana, Nak?" Asri muncul di balik pintu. Berdiri bersedekap di sana sambil menatap kagum ke arahnya.
"Mau ke acara teman ma." katanya berbalik menghampiri.
"Ke pernikahan Nadia?"
Raka mengangguk pelan. Menyadari ada nada sesal di balik pertanyaan ibunya.
"Salam buat dia ya." Asri mengusap lengan Raka pelan. Memberikan sedikit semangat agar anak lelakinya tidak mengacau di pernikahan itu.
"Raka berangkat, Ma." pamitnya menyalami tangan Asri. "Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam." Asri memberi jalan pada Raka untuk melewatinya. Ia melambai menatap punggung tegap putera semata wayangnya. Diam-diam menghela nafas panjang. Ia tetap seorang ibu yang mampu merasakan kesedihan Raka. Ia tahu puteranya masih belum mampu mengikhlaskan gadis yang ia cintai menikah dengan pria lain. Tapi apa boleh buat, mereka mungkin tidak berjodoh.
****
Tidak ada yang sadar atau sengaja menghitung berapa lama waktu yang digunakan perias pengantin untuk memoles wajah Nadia dengan make up. Yang jelas, sejak tadi, Nadia hanya diminta duduk dan bersiap. Membiarkan wajahnya digambar sedemikian rupa.
Sudah pukul setengah satu siang. Selesai berwudhu dan sholat dzuhur, ia dipaksa duduk di kursi. Kebaya putih bersih sudah terpasang lekat di tubuhnya. Saat itu juga, Nadia mulai merasakan ada yang tidak beres dengan jantungnya. Ia tak henti melirik Dila yang asik berfoto dengan latar belakang bunga di belakang sana. Gadis itu memang rela meninggalkan tempat kerja hanya untuk menemani dirinya seharian ini. Nadia tidak tahu itu ia lakukan karena tulus menemaninya, atau sekalian menghindari rapat panjang yang biasa dilakukan hari jumat di kantor.
"Nadia, gimana perasaanmu?" Dila bicara sambil merekam dalam ponsel. Ia menatap Nadia sumringah. Lalu mendekat, seperti sedang mencari angle terbaik untuk videonya.
"No comment!" Nadia tersenyum. Ia bahkan tidak tahu lagi dimana letak jantungnya sekarang. Sejak semalam, persis sebelum hari pernikahan, Ia tidak bisa tidur dengan nyenyak. Selain suasana rumahnya yang terlalu bising, pikiran-pikiran aneh juga mulai membayangi dirinya.
"Ehem. Tadi aku sempat lihat, mas Adi ganteng banget pakai jas pengantin." Dila menggodanya. Masih sibuk merekam Nadia yang menutupi wajahnya yang memerah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
Romance[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...