****
Nadia duduk memeluk nampan kecil di pangkuan setelah meletakkan dua gelas teh hangat dan camilan. Wanita itu mempersilakan tamu yang datang mencicipi teh dan jamuan sederhana di rumahnya. Bibirnya tak berhenti tersenyum mencairkan suasana yang menegang sejak Nadia pertama kali membuka pintu dan membiarkannya masuk.
Tamunya berdeham. Ikut mencairkan suasana yang semakin canggung.
"Gimana kabarmu, Nad?" tanyanya.
Nadia menegak sambil terus tersenyum. Mencoba memberi jawaban hanya lewat senyum dan tatapan mata. Namun itu tak berhasil, si tamu tetap menanti jawaban dari mulutnya.
"Alhamdulillah, Mbak. Mbak Dena sehat?"
Wanita berkerudung panjang selutut itu tersenyum mengangguk. Memberi isyarat bahwa kabarnya baik-baik saja.
"Ibu dan ... Mas Adi?" Nadia memberanikan diri kembali bertanya. Sejak minggu terakhir ia tak bertemu suaminya, ia sudah mencapai kerinduan di level maksimal.
Adena tersenyum lebih lebar. Namun tetap bergerak gusar sambil menggenggam tas jinjing miliknya. "Mereka juga baik-baik saja, Nad. Kamu ... nggak perlu khawatir."
Nadia mengernyit dahi. Menatap wajah Adena serius. Walaupun otaknya merangsang respon lebih tenang, tapi mimik wajah Adena seperti terlalu memaksakan diri. Nadia tahu, Adena sedang menyembunyikan sesuatu.
"Kemarin malam, Mas Adi sudah menghubungi saya lewat pesan, Mbak. Katanya surat gugatan cerainya sudah ada dan butuh tanda tangan saya." Nadia menatap serius. Ia bergerak merenggangkan saku bajunya dan mencari keberadaan ponsel. Bermaksud menunjukan pesan yang dikirim Adi padanya. Mungkin saja Adena datang untuk mengantar surat itu padanya.
"Mbak datang bukan untuk mengantar surat perceraian, Nad," sahutnya cepat. Alih-alih menatap serius, Adena lebih memilih menatapnya iba. Penuh pengharapan sekaligus tak percaya diri.
Nadia tersentak. Ia berhenti mencari pesan dalam ponselnya.
"Jadi?"
"Mbak mau kamu kembali," pintanya.
Nadia menatap wajah Adena sejenak. Kemudian memalingkan wajahnya ke arah lain. Menghindari kontak mata dengan kakak iparnya itu. Selain menenangkan keram jantung yang berlebihan, Nadia juga tidak mau kembali membuka luka rumah tangganya.
Nadia memilih diam. Menunggu saat yang tepat agar hatinya kembali siap untuk bicara.
"Mbak tau kamu mencintai Adi. Begitu juga Adi. Kalian ini hanya sedang diuji. Mbak percaya, Adi membutuhkanmu seperti kamu membutuhkannya."
"Mas Adi tidak membutuhkan saya, Mbak." Nadia menegaskan. Setelah hampir seminggu pulang ke rumah, hanya kemarin malam Adi menghubunginya. Itupun pesan pemberitahuan bahwa surat perceraian mereka sudah lengkap. Tinggal tanda tangan saja, proses perceraian akan bergulir di pengadilan.
"Kamu nggak tau yang sebenarnya. Adi itu--"
"Saya nggak mau bahas ini sebenarnya, Mbak." suara Nadia bergetar hebat. Ia tahu sudah berlaku tidak sopan memotong pembicaraan Adena. Namun hatinya benar-benar belum siap membenahi keadaan. Memikirkan kondisi pernikahannya yang ada di ujung tanduk saja sudah sangat menyiksa.
Adena menutup bibirnya. Membuang napas dalam-dalam. Ia menunduk sambil terus mengucap maaf dalam hati. Nadia pasti terluka terlalu banyak.
"Kalau memang Mas Adi membutuhkan saya, apa nggak bisa dia datang--nggak, setidaknya menelpon atau kirim pesan meminta saya kembali." Nadia benar-benar tidak stabil. Suaranya yang lembut bergetar sendu dan pilu. Nadia kecewa. Marah pada keadaan yang ada. Kenapa dirinya begitu lemah dan mudah sekali menangis?
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
Romantik[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...