****
Sejak ibu mertuanya datang siang tadi, Nadia dibuat sibuk mengurusi barang-barang bawaan milik ibunya. Ada banyak makanan kering dan basah, belum lagi barang lain yang katanya dibawa untuk oleh-oleh. Selesai shalat ashar, ia kembali menemani Sarah di dapur. Menyiapkan makan malam yang semuanya diatur Sarah dengan baik. Makanan ini dan itu, menu sampai piring yang dipakai. Ibu mertuanya memang detail dan perhatian.
Nadia masih menunggu bersama Sarah di depan televisi. Sambil menonton acara sore. Satu jam lalu, Adi mengiriminya pesan singkat bahwa ia sudah berada dalam perjalanan pulang. Tapi belum ada kabar setelah itu.
Nadia duduk gelisah. Jarak antara kantor dan rumahnya tidak lebih dari 7 kilometer. Tapi sampai satu jam lamanya, Adi belum memberi kabar atau bahkan terlihat batang hidungnya. Ia berkali-kali mengecek notifikasi di ponsel. Siapa tahu Adi mengabarinya. Tapi nihil.
"Adi kemana toh, Nduk? Kok nggak sampai juga? Katanya sudah di jalan?" Sarah juga membaca kekhawatiran Nadia yang duduk gelisah.
"Nggak tau, Bu." Nadia berdiri dari duduknya. Berencana menghubungi ponsel suaminya. "Ahh, Mas Adi telepon, Bu."
Nadia melihat layar ponselnya berkedip. Ada panggilan masuk dari suaminya. Tanpa basa-basi, ia menekan layar jawaban untuk bicara dengan Adi di balik telepon sana.
"Assalamualaikum, Mas. Dimana?" Nadia langsung menghujani Adi dengan pertanyaan.
"Waalaikumussalam. Bu, maaf. Saya dari rumah sakit BXX." seseorang yang jelas bukan Adi menjawab telepon. Nadia sedikit terkejut dan mengernyit dahi.
"I-ya, kok handphone suami saya ada sama mbak, ya?" Nadia yakin penelpon itu seorang perempuan. Ia melirik dengan ekor mata, Sarah menoleh penasaran.
"Suami ibu mengalami kecelakaan motor. Sekarang ada di rumah sakit BXX." jelasnya.
"Astaghfirullahaladziim." Nadia terkejut spontan menutup mulutnya dengan telapak tangan. Jantungnya melambung 5 meter ke udara kemudian kembali di detik yang sama. Otaknya belum sempurna mencerna, ibu mertuanya berdiri ikut terkejut karena pekikan suara Nadia.
"Kenapa, Nduk?"
"M-mas Adi, Bu." Nadia mematikan sambungan telepon. Berbalik pada ibu mertuanya dengan mata berkaca-kaca. Pikirannya kacau. Ia tak peduli keadaan sekitar dan bergegas mencari tas jinjingnya. Saking panik, ia tak sempat bicara pada ibu mertuanya dan hanya mengajaknya pergi ke rumah sakit.
Nadia beristighfar sambil menahan tangis. Kakinya gemetar dan lemas saat Sarah membantunya menghentikan taksi. Tidak ada waktu untuk mengeluarkan mobil dari garasi. Ia harus segera pergi menemui suaminya dan memastikan ia baik-baik saja.
****
Raka merasa dirinya sudah gila. Sambil duduk di kursi tunggu, ia tak henti mengusap wajahnya frustrasi. Otaknya sudah benar-benar tidak sehat akibat patah hati. Saat dengan konyol dirinya mengikuti Adi yang keluar kantor lebih awal. Namun akhirnya menemukan pria itu tergeletak sendirian di aspal karena terjatuh dari motor.
Jadi, sampailah ia di sini sekarang. Terjebak di rumah sakit karena harus menunggu dokter memeriksa pria itu.
Raka merogoh ponsel dalam saku. Berencana menghubungi Nadia untuk memberitahu wanita itu tentang keadaan suaminya. Tapi ia berpikir lagi dan lagi. Selama beberapa bulan ini, Raka sengaja menghilang dari permukaan agar lebih mudah melupakan Nadia. Jika ia muncul sekarang, ia khawatir hatinya tidak akan siap.
"Permisi."
Raka menoleh lalu berdiri.
"Bapak ini keluarga pasien juga? Bisa langsung saja urus administrasinya, Pak." katanya perawat yang tadi menghampiri Raka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
Romance[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...