****
Raka berdiri di belakang pintu sambil memegang knop bulat yang pas di genggaman. Ia mengintip sesekali ke arah luar dan memasang pendengaran sebaik-baiknya. Tadi niatnya hanya ingin pergi keluar cari angin segar, tapi percekcokan ayah dan ibunya di balik pintu menghentikan langkah dirinya yang semula mantap.
Raka mengendus penasaran. Mengintip sekali lagi. Memastikan bahwa kedua orang tuanya sedang bicara serius. Ia bisa melihat ibunya menangis tersedu-sedu di dalam dekapan ayahnya. Dan ayahnya hanya berusaha mengusap punggung ibunya dengan tatapan marah namun tetap teduh. Raka menghela nafas pelan. Jantungnya seperti baru saja berhenti kemudian berdetak lagi dengan tempo lebih cepat.
Timbul perasaan marah dan bersalah. Ia ingin keluar dari persembunyian dan meminta ibunya untuk berhenti menangis. Raka merasa menjadi anak yang buruk karena membuatnya menangis tersedu-sedu. Tadi itu, ia mendengar jelas bahwa dirinyalah yang menjadi faktor percekcokan ayah dan ibunya. Mengenai kegilaannya, sampai masalah yang sama sekali Raka tidak terlibat.
"Aku tidak seperti itu." gumamnya.
Sedetik kemudian, pria itu beranjak dari pintu. Berjalan mendekati ranjang dan meraih jaket hitam dan topi di atas nakas. Ia memakainya dan bersiap keluar. Tak lupa membawa kunci mobil dan dompet yang ja simpan di nakas.
"Mau kemana, Nak?"
Raka baru membuka pintu dan keluar kamar. Namun ibunya terlanjur menyadari Raka sepertinya berencana pergi.
"Mau keluar sebentar, Ma." katanya.
Bu Asri mengusap airmatanya diam-diam. Kemudian menghampiri Raka yang masih berdiri di depan pintu.
"Kamu masih sakit! Badanmu masih ruam." Bu Asri dengan halus memeriksa perbagian tubuh Raka. Mulai dari tangan sampai leher pria itu. Memastikan anak lelakinya sudah sehat. "Lagipula manajermu sedang di jalan, tunggu dia dulu."
"Raka cuma sebentar, Ma." Raka mengulur tangan dan ingin menjabat tangan ibunya. Memberi salam.
"Jangan kemana-mana, Rak! Selesaikan dulu masalahmu!"
Kini giliran ayahnya yang bicara tanpa menoleh ke arahnya. Raka sempat menatap ke arahnya sejenak, namun kemudian beralih menatap wajah sendu ibunya.
"Raka nggak salah. Raka akan buktikan kalau Raka yang benar." Raka memilih pamit walau ibunya memanggil beberapa kali demi mencegah. Ia butuh pergi sebentar, keluar rumah dan menenangkan diri.
****
Kecepatan sedang Adi pilih saat menyetir motor kesayangannya menuju rumah Nadia. Ini hari terakhir sebelum besok ia dan Nadia harusnya pergi cuti dan berangkat bersama ke Semarang. Sejak semalam, ia tak berhasil menghubungi Nadia karena nomornya tidak aktif. Jadi setelah sarapan, pria itu bergegas pergi menemui si calon istri.
Mungkin apa yang dilakukan Nadia sementara karena apa yang mereka bicarakan belum menemui titik terang. Percakapan terakhir berakhir menggantung begitu saja. Maka hari ini, ia harus pergi menemui gadis itu dan memperjelas semuanya. Bahwa ia tidak ingin berpisah, apalagi mengakhiri hubungan bahkan saat belum sempat memulai. Itu terlalu pengecut.
Adi ingin mengemudi lebih cepat, tapi tak berani karena jalanan cukup penuh. Ia harus menunggu dan bersabar, sambil memikirkan apa yang kira-kira akan dibicarakan nantinya.
Adi tersenyum dibalik helm sambil melepas salah satu tangannya dari kemudi, merogoh saku dan memastikan benda bulat bludru ada di dalam sana dengan aman. Hari ini, Adi harus mengikatnya.
****
Nadia selesai dengan baju yang menumpuk di meja setrika. Sejak selesai sholat shubuh, dirinya dihadiahi pakaian yang menumpuk karena semalam memilih tidur lebih cepat dan tak memedulikan tugas rumahannya. Nadia berjemur di depan teras rumah dengan secangkir teh hangat dan kudapan kecil. Ia lebih memilih duduk santai di teras yang teduh daripada harus nongkrong di depan televisi seperti adiknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
Romance[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...