****
Sebenarnya, tidak ada alasan lagi bagi Raka untuk datang menginjakan kaki di rumah sakit. Pria itu tidak sedang sakit, pun istrinya atau bahkan anggota keluarganya. Tapi sejak pagi, ia pamit keluar rumah dan menjinjing sekotak besar buah-buahan dan bunga. Kemarin sore, dirinya tak diberi keberanian untuk muncul dipermukaan saat Nadia datang. Ia takut hingga memutuskan untuk bersembunyi. Tapi setelah berpikir keras semalaman, Raka harus memulai membenahi hatinya lagi. Menerima dengan ikhlas bahwa Nadia bukan lagi untuk dirinya.
Raka tersenyum kecil membalas sapaan beberapa orang yang menyapanya. Ia tahu betul, sebagian dari mereka berusaha mendekat dan meminta berfoto. Namun seperti segan. Raka hanya melenggang melewati lorong-lorong. Semoga saja ia belum terlambat. Kalau tidak salah, ia dengar Adi hanya butuh perawatan sebentar. Karena itu ia datang pagi buta.
Sampai di bangsal rawat, Raka menoleh kanan kiri. Setelah bertanya perihal dimana keberadaan pasien yang ia maksud ke pusat informasi.
"Kalau nggak salah, kemarin Nadia keluar dari situ." Raka mengingat-ingat. Sembari menunjuk sebuah ruangan rawat. Raka bisa saja menerobos masuk, tapi takut disangka tidak sopan. Walau bagaimanapun, ia tetap perlu memperhatikan tatakrama.
Ia menunggu di depan pintu. Menghitung dalam hati urutan satu sampai seratus. Setelah lebih dari seratus, ia harus masuk dan menyapa.
Belum sampai di hitungan keenam puluh, Raka terkesiap mendengar knop pintu diputar. Menghasilkan suara deretan engsel yang bergesek satu sama lain. Pria itu menoleh segera. Memastikan siapa yang membuka pintu dari dalam.
"Ehh..."
Raka tersenyum canggung. Tangannya gemetaran akibat terlalu lama memeluk keranjang buah dan bucket bunga. Ia melihat Nadia juga tak kalah terkejutnya dengan dirinya.
"Lho, Raka?" Nadia menutup pintu sepenuhnya. Sambil berdiri di depan pintu dan merapikan kerudung yang menjuntai panjang.
"A-ku mau datang menjenguk." serunya gugup. Raka menunjukkan rangkaian buah dan bunga yang ia bawa. Memberi bukti.
"Jenguk? Ini belum masuk jamnya, kan." Nadia mengernyit dahi melirik ke arah kanan, tepat pada sebuah jam dinding besar yang menempel di tembok.
"Kalau siang, aku agak sibuk. Jadi jenguk pagi-pagi." ucap Raka.
"Oh iya. Ayo masuk!" Nadia akhirnya memerintahkan Raka masuk ke dalam ruangan tempat Adi beristirahat semalaman.
"Lho, Adi mana?" Raka menoleh ke belakang, sebelum Nadia menutup pintu.
"Suamiku sedang menjalani pemeriksaan. Mungkin sebentar lagi selesai. Kamu tunggu saja." Nadia menunjuk ranjang paling pojok yang tak disekat gorden lagi.
Raka mengangguk mengiyakan. Lalu masuk dan meletakkan buah serta bunga yang susah payah digendongan sepanjang perjalanan.
"Gimana keadaan suamimu? Nggak parah, kan?" Raka duduk tanpa dipersilakan. Ia memilih kursi plastik pendek dekat dengan ranjang.
"Alhamdulillah. Lukanya nggak parah." Nadia tersenyum halus. "Berkat bantuanmu."
Raka terenyuh. Jantungnya sempat melompat sekilas namun kembali seperti sebelumnya. Mengakibatkan irama jantung yang berlebihan.
"Lalu kabarmu?"
Nadia diam sejenak. Mengangkat satu alisnya dengan penuh tanya. Sebenarnya hal lumrah yang ditanyakan pada orang yang baru bertemu lagi setelah sekian lama. Namun saat mendengar itu dari Raka, entah kenapa perasaannya jadi aneh.
"Alhamdulillah. Kamu?"
"Kabarku juga baik." Raka menyahut spontan. Ia tersenyum berusaha mencairkan suasana yang kian menegang. Rasanya, setelah sekian lama tidak bertemu, Nadia semakin bertingkah acuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
Romance[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...