****
Nadia duduk di bangku plastik berwarna biru sambil mengupas pisang. Membelahnya beberapa bagian lalu menghaluskannya menggunakan sendok. Ia tersenyum kecil meminta Adi segera menelan sisa pisang di mulutnya itu, sebelum menyuapkan lagi sendok yang baru. Matahari terasa terik walaupun ruangan kecil itu memiliki AC dan ventilasi udara yang baik. Mungkin karena efek musim panas berkepanjangan.
Adi menelan susah payah. Berusaha tidak menyisakan pisang di mulutnya. Diam-diam ia memandang wajah Nadia yang pucat. Bibirnya yang biasa merah ranum kini sedikit menghitam. Pasti karena terlalu lelah seharian mengurusi keperluannya.
Adi ingin mengangkat tangannya yang masih bisa bergerak walaupun lemah. Untuk sekedar berpindah posisi, Adi masih mampu melakukannya. Namun untuk memberi kekuatan lebih apalagi menggenggam dan mengangkat sesuatu, itu sudah sulit. Pria itu mengangkat perlahan tangannya ke udara. Nadia yang menyadari Adi sedang berusaha menjangkau wajahnya hanya tersenyum kecil lalu meraih jemari Adi dan membantunya menggapai pipi.
Nadia membawa tangan Adi ke pipinya. Memberi belaian lembut langsung di sana. Ia rindu sekali pelukan belaian hangat pria itu.
"Istirahat dulu, Yang. Kamu belum tidur dari semalam, kan?"
Ada kehangatan dalam hati Adi yang membuncah. Kenapa dulu ia sempat terpikir menjatuhkan talak pada wanita seperti Nadia? Istrinya ini terlalu sempurna untuk dilepas begitu saja. Untung ia buru-buru merangkum Nadia kembali sebelum gadis itu benar-benar menyadari ketidakberuntungannya mendapat suami seperti dirinya ini. Mungkin besok ia harus pergi meminjam telepon dan menghubungi salah satu rekannya untuk mencabut gugatan cerai itu.
Nadia hanya tersenyum halus. Masih mengusap jemari Adi yang sengaja ia tempelkan di pipi. Seperti ingin bicara sesuatu, tapi tertahan.
Adi mencoba menerka walau tidak bicara. Apa yang telah banyak menganggu pikiran istrinya sampai terlihat begitu lemah dan kurus. Ahh, benar. Pasti terlalu banyak memikirkan tentang dirinya. Apalagi setelah dokter meminta memasang alat bantu pernapasan yang katanya bisa membuatnya bernapas lebih nyaman. Nadia jadi terlihat tidak tenang setiap malam. Ia duduk berjaga di sebelah Adi sambil memutar murotal. Pasti untuk menghalau kantuknya. Nadia baru akan tidur setelah Sarah datang.
Sejak diberitahu soal trakeostomi itu, Adi sama sekali belum memberi keputusan. Walau bagaimanapun, semua akan terasa lebih sulit. Sekarang saja, dengan kondisinya tanpa banyak alat, ia sangat terganggu. Bernapas langsung dari hidung pasti akan lebih nyaman. Kenapa mereka meminta memasang alat aneh di tenggorokan hanya demi bisa bernapas. Kemudian makan langsung dari mulut memang lebih sulit, tapi membayangkan makan tanpa mengecap rasanya sama sekali, apa itu bisa ia lakukan?
Belum lagi kalau muncul risiko lain setelah operasi. Adi benar-benar tidak nyaman. Sejak Nadia memberitahunya soal saran dokter itu, Adi menolak halus. Meyakinkan semua orang bahwa ia akan baik-baik saja tanpa bantuan ventilator. Hasilnya, selama seminggu lebih Nadia lebih sering menghabiskan waktu di rumah sakit. Berjaga sepanjang malam di sampingnya.
"Coba sini naik ke ranjang!"
Adi tersenyum halus melirik bagian kosong sebelahnya.
"Sebentar lagi ibu juga datang, Mas. Aku tunggu ibu saja." Pipinya memerah. Nadia memang merindukan pelukan pria itu. Namun melakukan hal itu di siang bolong, apa tidak keterlaluan?
Adi mengangguk pelan. Mencerna seluruh ucapan Nadia. Ia melirik jam dinding lalu menarik tangannya kembali ke dalam selimut.
Tak begitu lama, suara ketukan pintu mulai terdengar dari luar. Itu pasti Sarah atau Diana yang biasanya datang berjaga secara bergantian. Adi benar-benar merasa beruntung berada di sekeliling orang yang mencintainya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
Romance[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...