****
Semangkuk besar bubur ayam nyaris tandas. Tersisa dua atau tiga suapan terakhir dan salah satunya sudah diangkut di atas sendok yang dipegang Nadia. Wanita itu memberi aba-aba agar suaminya membuka mulut lebar-lebar menjelang suapan terakhir. Duduk condong di sebelah ranjang besar kamar utama.
Sedangkan pria yang duduk kaku berselimut sebatas perut itu hanya duduk menunggu kunyahan di mulutnya selesai. Matanya beberapa saat terlihat memikirkan sesuatu. Walau sesekali melirik wajah Nadia dengan ekor matanya.
"Ini sendok terakhir, Mas." Nadia menyodorkan sendok berisi bubur. Tersenyum meminta suaminya segera melahap bubur terakhir. Adi hanya mengunyah susah payah, kemudian mencondongkan tubuhnya menerima suapan terakhir.
"Alhamdulillah, Mas mau aku ambilkan apa lagi?" Nadia mengemasi mangkuk dan air minum di atas nampan. Mengusulkan sesuatu untuk pencuci mulut.
Adi yang masih tenang mengunyah hanya menggeleng pelan. Memaksa bubur halus dalam mulut segera terdorong mengganti tenaganya yang hilang. Pria itu mengulum senyum dalam-dalam. Mencumbu wajah istrinya dengan tatapan mata berhubung tubuhnya tak lagi mampu, bahkan walau sekadar memeluknya dengan nyaman. Matanya mulai panas setiap kali melihat kening Nadia yang mengerut kelelahan. Adi masih bisa merasakan kesedihan yang mendalam di hati Nadia. Selama dirinya terbaring tak berdaya.
Merasa di perhatikan, Nadia membuang wajah malu. Pipinya memanas setiap kali Adi menatapnya lapar seperti itu. Ada perasaan senang yang membuncah. Namun ia tak tahu dari mana itu berasal.
Nadia berdiri dari posisi duduk. Membawa nampan berisi mangkuk kosong dan gelas tinggi.
"Kamu boleh pulang, Yang." Adi sedikit berbisik lemah.
"Aku 'kan udah pulang minggu lalu, Mas." Nadia menyahut tanpa menoleh. Ia terus melenggang membawa nampan itu menuju pintu kamar.
"Kamu harus pulang, Yang." Adi menginterupsi lagi. Masih berharap Nadia mau menoleh sekejap.
Nadia memang sempat menghentikan langkahnya. Menoleh sekilas sambil tersenyum. "Mungkin minggu ini ibu yang datang."
Adi menghela napas berat. "Kamu boleh pulang ke rumah orang tuamu ... dan tak perlu kembali."
Nadia yang hendak melangkah keluar kamar sontak tertahan sesuatu. Jantungnya sempat bergerak abnormal selama satu detik. Ia berbalik. Menatap suaminya tak mengerti.
"Maksudnya?" tanya Nadia. Bibirnya gemetar saat menatap wajah Adi yang enggan menoleh ke arahnya.
"Kamu ... saya talak, Nadia."
Nadia membuka lebar kelopak matanya tak percaya. Tanpa ia sadari efek jantungnya berdebar berlebihan membawa air naik ke otak lalu keluar lewat mata. Wanita itu diam tak berkata. Hanya mengigit bibir.
"Aku nggak mau bercanda, Mas." Nadia berbalik memunggungi Adi. Namun kakinya bergetar hebat, Nadia tetap memaksakan diri melangkah keluar.
"Saya ... tidak bercanda. Kamu boleh kembali ke rumah orang tuamu," lirihnya. Adi mencoba menghentikan langkah Nadia yang belum sempat menggapai knop pintu.
Nadia yang berhenti persis di depan pintu kamar mulai tak bisa mengendalikan diri. Air mata yang sudah membuncah di kepalanya keluar menjebol pertahanan. Wanita itu meringis menahan sakit di ulu hati. Nampan berisi mangkuk dan gelas ia remas kuat-kuat.
"Apa alasanmu, Mas? Apa aku tidak cukup baik untukmu?"
Bibir Nadia bergetar hebat. Disertai getaran suaranya yang lirih dan pilu. Ia tak membalik tubuhnya. Hanya menunduk menatap kaki yang tertutupi gamis gombrang.

KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
Romance[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...