39. Serangan

1.5K 111 19
                                    

****

Sudah seminggu ini lagi-lagi Adi harus izin dari kantor karena menjalani beberapa pemeriksaan tambahan perihal sakitnya. Di hari senin minggu pertama, ia sudah kembali ke kantor. Dengan senyuman dan semangat yang sama namun tambahan tongkat siku yang membantunya berjalan. Setelah meletakan tongkat di samping kursi, Adi membuka laptop jinjing yang ia bawa susah payah.

Ia merenggangkan otot punggungnya yang tegang di kursi. Sambutan hangat dari rekan kerjanya perlahan membuat dadanya hangat. Walaupun sebenarnya mereka tidak tahu apa yang ia alami, setidaknya semua rekan dan stafnya itu mencoba menghibur. Yang mereka tahu, Adi hanya cedera akibat kecelakaan motor berbulan-bulan lalu.

Adi menunduk lemas. Mencoba menggerakkan tangan kiri sekedar meraih gelas. Namun sekarang itu bukan hal yang mudah. Adi kehilangan banyak kemampuan sejak ALS menyerang ototnya. Bahkan untuk sekadar mengetik sepuluh jari saja rasanya sulit. Apalagi membawa barang berat di tangan kiri.

Matanya berkaca-kaca setiap kali mengingat tubuhnya yang kian kaku dan ringkih. Jika bukan karena orang yang ia cintai, Adi pasti sudah menyerah.

Pria itu mengusap matanya. Menoleh ke sisi kanan meja. Tepat ke arah frame foto wanita yang ia cintai dalam hidupnya. Wanita yang setia menemaninya setiap hari. Memberi dukungan terbesar selagi seluruh anggota keluarga menganggapnya baik-baik saja.

Sudah 3 bulan sejak diagnosis awal. Tak sehari pun ia melewatkan obat yang harus ia minum setiap 12 jam sekali. Dokter bilang, riluzole memang bisa memberi harapan hidup sampai 3 bulan lebih lama bagi penderita, tapi itu tidak terlalu berdampak. Buktinya kian hari, kaki dan tangannya semakin kaku dan lemah. Adi juga sudah merasakan perubahan yang aneh pada pita suaranya. Itu pasti karena ALS mulai melumpuhkan otot saraf pita suara.

"Di," panggil Wildan tiba-tiba muncul dari balik pintu.

Adi mengusap wajahnya yang sendu. Menoleh sambil tersenyum kemudian meminta Wildan duduk.

"Kenapa, Wil?" Adi membereskan mejanya. Tersenyum halus memberi sambutan.

"Nggak apa-apa. Aku cuma datang memastikan kamu sudah sehat? Kalau lihat tadi pagi Nadia sampai mengantar ke kantor, kayaknya kondisimu cukup parah." Wildan duduk di kursi yang berhadapan dengan Adi. Ia meraih gelas kosong dan menuangkan minum dari dispenser untuk dirinya sendiri.

"Saya nggak apa-apa. Memangnya salah kalau diantar istri ke kantor?" Adi memberengut namun diselingi seringai.

"Memangnya lukamu cukup parah ya, Di? Bagian mana sih yang sakit?" Wildan memeriksa lengan dan bahu bahkan sampai kaki atasannya itu. Menggoda dengan menyentuh beberapa bagian di lengan dan kaki. Namun ia tetap tak menemukan luka di tubuh Adi.

Adi menepis Wildan agar menjauhinya. Ia meminta Wildan tetap duduk tenang tanpa memeriksa apapun yang ada di tubuhnya.

"Cuma perlu perawatan sebentar. Mungkin nanti aku akan sering ngerepotin kamu, Wil."

"Masa, sih? Kok sampai pake tongkat segala?" tanyanya tak percaya.

"Selama aku harus perawatan pakai tongkat, kamu harus jadi kaki tanganku." Adi memaksa dan menyeringai sinis.

"Pak Surya harusnya naikin gajiku nih! Aku kan merangkap bantuin manajer kesayangannya," dumalnya. Wildan meneguk habis air dalam gelas. Berdiri dari kursi.

"Itu jadi urusanku nanti."

"Oke, aku balik ke ruangan. Kalau butuh apa-apa telpon aja!" Wildan pamit melambai tangan. "Eh jam 10 nanti ada rapat evaluasi kinerja di lantai 4. Jangan lupa ya!" Wildan tak menoleh. Tanpa basa-basi melenggang meninggalkan ruangan.

Untuk DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang