****
Nadia kembali ke kantornya tepat sebelum makan siang berakhir. Rencananya 'belanja' motor baru sudah mantap dengan ia menjual motornya yang lama. Ya itu lumayan, Nadia bisa dapat uang setengahnya dari harga motor lamanya. Itu bisa dia pakai untuk uang muka motor baru nanti. Selama menunggu uangnya cair, mungkin Nadia harus pakai ojek online."Aku mau makan di depan, kamu mau ikut?" Dila menawarinya. Menunjuk sembarang arah dengan jempolnya.
"Aku ada janji harus ketemu klien sama Mas Adi. Kamu aja deh, Dil." Nadia menolak pelan. Sebenarnya perutnya memang lapar, tapi ia tak bisa pergi dan harus diam-diam mengatasnamakan janji klien padahal dirinya hanya akan makan siang bersama Adi.
"Eheemm." Dila tersenyum miring dan menatapnya curiga. "Kalian ini.. ada hubungan apa sih?" tambahnya.
"Nggak kok. Kayak nggak biasanya aja." Nadia menggeleng bahu Dila dengan tangannya. Mengisyaratkan agar gadis itu berhenti menatapnya dengan mata curiga seperti itu.
"Ya udah sana! Selamat berkencan!" Dila tersenyum lagi. Melenggang sambil melambai meninggalkan dirinya diantara lorong ruangan karyawan.
Nadia melambai mengikuti arah gerak Dila yang meluyur meninggalkannya. Ia terpaksa berbohong hari ini. Padahal, sebenarnya ia ingin menjadikan Dila sebagai orang pertama perihal rencana pernikahan dirinya dan Adi. Namun ia butuh waktu yang tepat untuk bicara. Nadia akan meminta maaf nanti pada Dila dan mencetak namanya sebagai tamu undangan istimewa.
Alih-alih kembali ke ruangan, Nadia mulai bergegas setelah mendapat interupsi dalam pesan singkat. Barusan ponselnya berbunyi dan pesan itu dari Adi yang memintanya bertemu di parkiran kantor. Dengan wajah memerah dan pipi panas, Nadia berjalan setengah berlari. Perasaan dan jantungnya yang berdebar, membuatnya lebih bersemangat pergi padahal perutnya sudah lapar dan lemas.
"Mas Adi!" Nadia memanggil pria yang tengah berdiri di samping motornya. Pria bernama Adi itu tersenyum kecil seperti ingin menyambut, namun hanya memberi lambaian kecil.
"Sudah siap?" Adi memastikan lagi. Nadia hari ini terlihat bersinar dan semangat. Seperti yang ia lihat setiap hari.
"Kita mau kemana?" Nadia menerima helm yang disiapkan Adi entah pinjam darimana. Pria itu tau hari ini ia tak membawa serta motornya.
"Makan siang, sekalian ngobrol." Adi tersenyum lembut mengacungkan kunci motor miliknya. Pria itu menaiki motornya, lalu meminta Nadia naik di boncengan. Gadis itu awalnya ragu namun kembali bersemangat setelah Adi memakai helmnya dan meminta Nadia naik segera.
****
Raka duduk berseberangan dengan manajernya yang tiba-tiba datang menjemput. Ia mengumpat berkali-kali karena pria agak tua itu terus menceramahinya soal berita tadi pagi yang beredar luas. Tentang headline news yang sedang hangat karena pertengkarannya dengan seorang wanita di depan umum. Sebenarnya ia tak menyangka, bahwa perdebatan singkatnya dengan Nadia akan seheboh ini sampai membuat manajernya marah dan menyusul ke Bandung."Skandalmu sama Marissa belum selesai. Kenapa harus nambah skandal lagi sih?" Dodi angkat bicara lagi. Menatap Raka yang duduk acuh di depannya.
"Itu bukan skandal. Lagipula aku dan Marissa nggak ada hubungan apapun." Raka tak terima seolah-olah dirinya yang bersalah.
"Terus siapa wanita di foto itu?" Dodi menatapnya curiga.
Raka memilih diam. Ia memalingkan pandangannya ke arah lain daripada melihat ke arah Dodi yang terus mengharap jawaban darinya.
"Mantan pacarmu, kan?" Dodi menuduh.
Raka menoleh tak suka sambil menatapnya geram. Ia memanh sering berdebat dengan manajernya yang satu ini. Pria itu memang terlalu sering ikut campur dalam urusan pribadinya dengan mengatasnamakan manajemen. Itu membuat kepalanya sakit saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
عاطفية[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...