****
Tepat pukul empat sore, saat tiba-tiba hujan turun menjelang senja. Beberapa kali angin membawa sebagian percikan air dan membasahi kaca jendela buram lantai 2.
Nadia memandangnya bosan. Menunggu hujan reda sebelum ia memutuskan untuk pulang. Dila dan rekan kerjanya yang lain sudah pulang setengah jam lalu. Padahal Dila awalnya ngotot mengajaknya ke supermarket dan katanya butuh membeli kosmetik baru. Tapi karena menunggu hujan, Dia dan rekan lainnya memutuskan menerobos hujan dengan mobil-mobil mereka. Sedangkan Nadia, dia harus menabung selama 20 tahun dengan gajinya untuk bisa membeli mobil sendiri.
Menjelang akhir pekan, pekerjaan yang biasanya menumpuk mulai lengang. Ia yang biasanya pulang sesudah maghrib sekarang bisa bersantai sejak jam 3 tadi. Tapi hujan menahannya lebih lama.
Nadia memandang ponselnya. Hanya memutar balik layar dari menu sampai wallpaper. Tidak ada chat yang masuk kecuali dari adiknya yang minta dibelikan martabak cokelat kesukaannya. Sambil menunggu reda, ia membuka kembali map berita acara untuk esok pagi. Sesuatu yang berat tiba-tiba seperti memukul kepala bagian belakangnya. Ada ketidaksiapan bertemu siapapun esok hari. Apalagi.. Raka Wijaya.
Siapa yang tidak kenal artis ngetop itu. Pria sejuta pesona dengan jumlah penggemar dimana-mana. Nadia mengenalnya. Bahkan mengenal masalalunya. Terlalu kenal sampai tak mau lagi mengenalnya di masa depan. Tapi tunggu, Nadia bukan mau mencari sensasi. Dia benar-benar pernah kenal dengan Raka Wijaya di masalalu. Di masa SMA-nya.
Masa saat Nadia mengenal rasanya sakit hati dan melupakan cita-cita cinta yang dia bangun bertahun-tahun.
****
"Raka pindah ke Jakarta, dua hari lalu."Nadia meremas tas ransel yang dijinjingnya di tangan kanan. Butuh sepuluh detik otaknya berpikir dan mencerna. Sesuatu yang jelas tidak ingin ia dengar merusak gendang telinganya. Nadia tidak berani bicara tapi masih ingin mendengarnya lebih jelas.
"Pindah?" Nadia mengulang kata yang paling ia ingat di otaknya. Menahan nafas beberapa saat karena merasakan pergerakan jantungnya yang melebihi batas normal.
"Aku juga baru tau tadi pagi. Satpam di rumahnya berhenti bekerja dan memasang pemberitahuan penjualan rumah di gerbangnya." Santi. Nadia mengenalnya karena gadis itu tetangga yang terhalang hanya dua rumah dari rumah Raka, pacarnya.
"Raka tidak pamit." Samar. Nadia hampir hanya bicara pada dirinya. Otaknya mulai berputar mencari jawaban yang tepat untuk respon tubuh selanjutnya. Tapi bibirnya tertutup rapat. Bersamaan dengan respon psikisnya yang melemah. Bisakah Santi katakan sekali lagi.
"Aku pikir kamu tau. Rumahnya sudah kosong. Kata satpamnya sih, mereka nggak akan balik ke sini lagi."
Detik yang sama, Nadia ingin marah dan melempar semua barang-barang yang terlihat oleh matanya. Hawa panas memenuhi pipi dan ubun-ubun. Giginya mengatup saling bergesekan saking gemas tak percaya. Ia ingin sekali menangis. Berteriak dan menantang Raka saat itu juga. Bertanya mengapa dia meninggalkannya tanpa bicara apapun.
Santi pamit setelah Nadia berterimakasih. Hanya segelas jus jeruk yang sudah tandas menemaninya di kantin sekolah yang sudah sepi. Gadis itu menjatuhkan kepalanya ke atas meja. Mengukup kepalanya dengan rambut sambil menatap lantai mengkilat di bawah sepatu.
Pundaknya bergetar. Seiring aliran panas keluar menjebol pertahanan hatinya. Nadia menangis. Sendirian di kantin yang sepi. Ia marah. Kecewa. Tapi juga tak percaya. Bagaimana bisa ia bertingkah seperti orang yang tak tahu apapun padahal Raka adalah pacarnya. Setidaknya itu yang terjadi jika Raka masih menganggap dirinya ada.
****
Seseorang tiba-tiba muncul dan menyentuh bahunya dengan sesuatu yang keras. Nadia terkejut dan menoleh. Saat dirinya hampir saja menangis mengingat masalalu. Hujan benar-benar membawa kenangan pahit bagi siapapun yang merasa punya sakit hati di masalalu. Map kuning berisi berita acara ditutupnya pelan-pelan. Ia sampai harus membetulkan kerudungnya yang penyok tertempa meja kerja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
عاطفية[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...