****
Nadia duduk selesai membantu ibunya menyiapkan beberapa barang di ruang tamu. Dua kali dalam semenit, ia sempatkan menengok jam dinding. Saking was was dan berjaga-jaga sepanjang hari. Sejak pagi, di hari libur -yang awalnya akan ia pakai bersantai-, Nadia bekerja lebih banyak dari biasanya. Banyak hal yang harus ia lakukan sebelum tamu istimewa datang ke rumahnya ba'da maghrib ini.Jam dindingnya berdentang memutar. Menunjuk pukul setengah 7 malam. Tiba-tiba perasaan Nadia seperti melambung dan turun seketika di saat yang sama. Sakit di ulu hati, tapi ia tau itu bukan karena penyakit kanker atau sejenisnya, melainkan gugup jantungnya yang tak terkendali.
"Mereka jadi datang?" Ibunya muncul dari ruang tengah, membawa senampan lagi camilan kacang dan meletakkannya di atas meja.
"Jadi bu. Mas Adi bilang udah di jalan." Nadia menoleh dan membantu merapikan toples-toples camilan itu.
Ibunya tersenyum ramah dan lembut. Menatap Nadia lalu meremas lembut kerudung putrinya yang menjuntai panjang sambil sesekali mengusap punggungnya.
"Ya udah, ibu nunggu di dalam ya!" Bu Diana mengerti apa yang dialami putrinya saat ini. Setidaknya itu pernah dia alami saat muda dulu. Akan ada rasa khawatir, ragu dan ketakutan yang berlebihan terlebih jika semendadak ini ajakan lamaran itu.
"Bu." Nadia menahan tangan ibunya yang hendak beranjak dari ruang tamu. Wajahnya mendadak panas dingin dan khawatir. Ibunya tidak banyak bertanya sejak ia mengungkap rencana lamaran bosnya itu. Nadia hanya khawatir, sejak malam tadi Nadia bahkan tidak tidur tepat waktu. Perasaan aneh dan tak ia mengerti mengganggu pikirannya. Apa ibunya mengalami ini saat dulu ayahnya melamar?
"Ibu begini juga pas ayah melamar?" Nadia bicara malu-malu. Ia melihat dengan jelas ibunya sempat terkejut sesaat karena pertanyaannya. Namun wanita setengah baya itu tersenyum halus sambil mengelus tangannya lagi.
"Semua perempuan mengalaminya, sayang. Jadi santai saja, biar pas ngasih jawaban bisa berfikir jernih."
Nadia mengangguk melepas pelan tangannya yang semula memegang erat lengan ibunya. Ia menghela nafas untuk meredakan keram jantungnya yang berlebihan. Lalu bangkit dari duduk dan mengintil ibunya.
"Bismillah, Nadia." gumamnya dalam hati.
****
Adi duduk menegang di kursi sebelah Khalid yang menyetir. Sedang Adena duduk di belakang dengan Budenya. Sesekali ia menghela nafas panjang. Urat wajahnya mendadak menegang melihat map di ponsel kakaknya menunjuk jarak yang makin dekat dengan tujuannya. Ia sesekali melirik Khalid yang bersenandung sambil menyetir."Ndak usah tegang, Di. Santai saja. Kan ada Masmu sing bantu ngomong." Adena mengerti perubahan wajah adiknya yang mulai tegang di depan sana. Ia menyentuh bahu Adi dan menepuk-nepuknya agar lebih tenang.
"Sing penting kudu tetep cool di hadapan calonmu nanti." celetuk Khalid sambil tertawa. Adi hanya menoleh dan tersenyum kaku. Ia melirik jalanan lagi. Di depan itu, tepat 5 rumah di depan sana Nadia pasti menunggunya. Dan demi apapun, jantungnya makin berdebaran. Bagaimana ia memulai?
"Rumah ini kan?" Khalid menghentikan laju mobilnya tepat di depan sebuah rumah dengan pagar hitam menjulang. Adi menoleh ke jendela dan memastikan alamat rumah itu sama dengan alamat yang Nadia kirim semalam padanya.
"Iya, ini rumahnya." Adi mengiyakan.
****
Nadia berdiri spontan saat pesan masuk ke ponselnya. Ia berlari ke jendela dan mencuri pandang dibalik gorden. Melihat ke depan gerbang memastikan Adi sudah benar-benar tiba. Lagi-lagi jantungnya melambung tapi turun di detik selanjutnya, membuat ulu hatinya sakit lagi. Ia beranjak dari ruang tamu sambil merapikan baju dan kerudungnya. Menemui ibunya di dalam dan memintanya keluar membersamainya menyambut keluarga Adi yang sudah siap di depan gerbang sana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Untuk Dia
Romance[TAHAP REVISI] Nadia kira sudah bahagia dengan pernikahannya. Belum genap setahun, suaminya divonis penyakit langka dan kehilangan banyak jati diri. Satu fakta yang Nadia tahu, suaminya menceraikannya. Melepasnya kepada pria lain. Mengatasnamakan ke...