38. Permintaan Maaf

1.5K 111 16
                                    

***

Udara dingin menjelang shubuh menembus gorden tipis yang terbuka. Suara muqaddimah mulai bersahutan dari satu mesjid ke mesjid lain. Tentram dan damai. Terdengar seperti nyanyian indah sepanjang telinga mendengar.

Nadia bangkit dari ranjang perlahan. Berusaha mengendap sebisa mungkin agar tak mengusik tidur Adi di dalam selimut. Wanita itu menggelung rambutnya yang mulai panjang melebihi pinggang. Sesekali melihat Adi yang tidur meringkuk memeluk guling. Sebagai ganti dirinya.

Masih pukul setengah empat pagi. Tapi ia sudah empat kali terbangun dalam kondisi gelisah. Nadia menunduk memegang pelipis. Ia tak mengerti. Sejak terakhir Adi menangis di pelukannya, rasa sakit hati itu seperti berpindah. Mengusik ketenangan dirinya.

Nadia menoleh lagi. Menatap wajah suaminya yang tenang dan damai. Walaupun matanya besar membengkak akibat tangisan semalam.

Setelah puas, ia duduk di depan meja rias. Meraih komputer jinjing yang biasa ia gunakan sehari-hari. Tangannya lihai menari di atas keyboard. Mencari sebuah informasi yang mengganggu tidurnya.

Nadia membaca hasil pencarian terbanyak. Blog resmi tentang ALS. Penyakit yang katanya saat ini sedang menyerang Adi dan otot-otot kuat milik pria itu.

"Amyotrophic Lateral Sclerosis ..." lirihnya sambil membaca. Nadia asyik mencari lebih banyak informasi sampai terus terkejut setiap kali otaknya menangkap pengetahuan baru.

"Penderita perlahan mengalami kelumpuhan saraf motorik?" ujarnya pada diri sendiri.

Nadia lagi-lagi membekap mulutnya tak percaya. Situs itu bilang, di kondisi terparah penderitanya bisa saja berhenti bernapas secara tiba-tiba, bahkan saat ia tidur. Seberbahaya itu kah penyakit suaminya?

Nadia mengusap dadanya perih. Berbalik setelah menutup layar komputer jinjingnya sekaligus. Ia beringsut kembali ke ranjang. Berbaring tak sabaran dan memeluk tubuh Adi yang sepertinya terlonjak kaget.

"Heemm." Adi menguap mengerjap mata beberapa kali. Menyadari Nadia memeluknya spontan dan erat. "Udah shubuh?" Adi mengangkat satu kepalanya. Mencari keberadaan jam dinding.

"Belum. Mas tidur aja, nanti shubuh aku bangunkan." Nadia merengkuh pinggang Adi. Adi memberungut tapi menikmati rengkuhan istrinya. Ia meletakkan kembali kepalanya tepat berhadapan dengan Nadia. Adi mengerjap mata beberapa kali. Matanya terasa perih dan sulit terbuka, tapi Adi hanya tersenyum saja sambil menatap wajah Nadia yang menutup mata rapat-rapat.

Adi menyeka anak rambut Nadia yang memanjang. Mengganggu pemandangan dan menutupi wajah Nadia yang cantik. Pria itu ikut melingkarkan tangannya ke pinggang Nadia. Lalu memberi kecupan singkat.

"Maaf soal semalam." Adi masih menatap Nadia.

"Kenapa harus minta maaf, Mas?" tanyanya memejam mata.

"Nggak tau deh. Aku ngerasa lemah banget tadi malam." Adi mengaku.

Nadia membuka mata sekejap kemudian. Menyelisik wajah Adi mulai dari kepala sampai ujung dagu. Tangannya yang semula memeluk Adi mulai merayap menjelajahi pipi sampai mata prianya itu.

"Aku ngerti. Aku harap Mas nggak kalah sama penyakit itu. Kata dokter, kalau Mas ikut terapi dan minum obat rutin pertumbuhan sakitnya bisa lebih lambat." Nadia mengukup tangannya di kedua mata Adi yang bengkak sebesar biji kemiri.

"InshaAllah. Asal kamu di sisiku terus." Adi menarik jemari Nadia yang mengukup di matanya, lalu mengecupnya pelan.

Nadia mengangguk lembut. Menyembunyikan kembali kepalanya ke dalam dada Adi. Terserah soal posisi Adi yang tidak akan nyaman.

Untuk DiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang